Pada dasarnya semua negara pasti mempunyai tujuan yaitu ingin menciptakan kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur bagi warganya. Salah satu hal yang menghalangi tercapainya tujuan tersebut adalah perbuatan atau tindakan kejahatan yang dilakukan oleh sebagian warganya sendiri. Oleh karena itu, agar mereka yang melakukan tindak kejahatan ini tidak terus bertambah maka tiap-tiap negara harus mengadakan usaha-usaha untuk mencegah dan memberantas kejahatan-kejahatan tersebut.
Memang merupakan suatu kenyataan bahwa tiap manusia selalu takut akan kematian. Itulah sebabnya tidak ada upaya yang lebih tepat untuk mencegah perbuatan calon-calon pembunuh selain dengan ancaman pidana mati. Lantas kemudian upaya inilah yang mengundang problem dalam penerapannya. Apabila kita menyimak berbagai ragam berkaitan dengan pidana mati ini maka pro dan kontra pun tidak dapat dihindari seiring dengan berbagai macam landasan argumen yang dikemukakan sebagai dasar pertimbangan.
Berkaitan dengan problema dalam penerapan pidana mati ini khususnya jika dikaitkan dengan HAM maka ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan, yaitu:
1) Kekhawatiran adanya kemungkinan kekhilafan hakim (gerechtelijke dweling) dalam menjatuhkan hukuman yang kemudian berimplikasi kepada putusan hakim yang tidak sesuai dengan kesalahan seseorang bahkan mungkin terjadi error in persona (pemberian hukuman kepada orang yang tidak bersalah) sehingga ini kemudian melanggar Hak Asasi Manusia di mana hak yang paling pokok dimiliki seseorang dilanggar. Berkaitan dengan hal ini ada beberapa contoh kasus klasik yang mendukung dimana pada abad ke-17 hidupla seorang petani bernama Joan Galles yang pada suatu ketika dituduh membunuh anaknya. Hakim pada saat itu kemudian menjatuhkan hukuman mati. Voltaire seorang pujangga dan ahli hukum setelah Joan Galles menjalankan eksekusi hukuman mati, ternyata Voltaire dapat membuktikan bahwa Joan Galles tidak bersalah, sehingga Joan Galles direhabiliteer. Tapi apa gunanya lagi karena yang bersangkutan telah meninggal karena dihukum tanpa kesalahan. Hal inilah kemudian mengundang respon negatif terhadap eksistensi pidana mati sehingga menjadi masalah dalam penerapannya.
2) Adanya perkembangan konsep Hak Asasi Manusia dimana potret HAM berkembang menjadi sarana penegakkan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, persamaan, perdamaian, persaudaraan, dan perlindungan. Hampir menjadi kenyataan bahwa penindasan terhadap HAM melalui pemidanaan yang menyebabkan musnahnya kemerdekaan, keadilan, serta persamaan, kemudian melahirkan problem dalam penerapan pidana mati tersebut.
3) Banyak kalangan yang berpendapat bahwa pidana mati tidak sesuai dengan salah satu sila dari pancasila yakni sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan beradab”, dimana dalam hal ini pidana mati dianggap sebagai salah satu bentuk pidana yang tidak manusiawi sehingga jauh dari aspek kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam penerapannya timbul suatu problema dimana terjadi pertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
4) Adanya pertentangan dengan salah satu maksud atau tujuan pemidanaan yang ditujukkan bukan sebagai sarana untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia, serta memperbaiki si pelaku tindak pidana tersebut sementara pidana mati dalam penerapannya dapat dipastikan melanggar dari maksud atau tujuan pemidanaan. Sehingga kemudian penerapan pidana mati ini dikatakan menghilangkan esensi dari salah satu tujuan pemidanaan karena sifatnya yang tidak memberikan ruang kepada pelaku kejahatan untuk memperbaiki diri.
Penerapan hukuman mati, dilihat dari aspek sosial budaya, mengacu pada teori kaum abolisionis. Dalam budaya yang memberikan penghargaan tinggi terhadap hidup dan martabat manusia, hukuman mati selalu dianggap sebagai kontroversi. Betapa tidak, dalam hukum yang sama, dipatok larangan membunuh sekaligus perintah hukuman mati. Lepas dari sistem hukum dewasa ini, ada semacam pandangan umum bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan prikemanusiaan.
Penjatuhan pidana mati memunculkan kontroversi yang beragam. Mendasarkan pada konsep HAM bahwa hak hidup adalah hak yang bersifat nonderogable rights. Pasal 28 I menyatakan hak untuk hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam Pasal 28 I mengharuskan orang untuk memperhatikan hak hidup. Namun dalam Pasal 28J menyebutkan setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan boleh undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain.
Kontroversi penerapan pidana mati yang berupa penolakan diantaranya disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Kontras. Pandangan tersebut karena alasan kemanusiaan, dimana hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR, Pasal 28 A, dan Pasal 28I UUD 1945. Di samping itu hukum pidana Indonesia masih bersifat diskriminatif, dimana banyak ditemukan kesalahan dalam praktek peradilan pidana Indonesia.
Melalui pidana mati dapat dikatakan negara memperpanjang rantai kekerasan dan bersifat pembalasan,sehingga penerapannya merupakan suatu kemunduran. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukuman mati tidak dapat menyelesaikan masalah kejahatan yang meningkat seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Jika terpidana mati telah dieksekusi kemudian ditemukan novum bahwa pelaku sebenarnya bukan terpidana yang telah dieksekusi, maka tidak dapat diperbaiki kembali. Efek jera yang sangat diharapkan tidak termanifestasi dengan menjatuhkan hukuman mati.
Penjatuhan pidana terhadap terpidana pelaku kejahatan harus berorientasi pada perlindungan HAM. Model pemidanaan ini merupakan model pemidanaan yang humanistis atau pemidanaan yang berorientasi pada individualisasi pidana, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Penerapan asas culpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan), (2) Adanya flesibilitas atau elastisitas pemidanaan, (3) Modifikasi (perubahan/penyesuaian) pemidanaan. Melalui model ini, hakim dapat menerapkan pidana yang dianggap cocok dengan keberadaan pelaku baik kejiwaan maupun kondisi fisiknya sehingga diharapkan adanya perubahan dari pelaku kearah yang lebih baik untuk dapat kembali ke masyarakat (resosialisasi).
Dalam RKUHP Indonesia mengenai pidana mati atau perampasan hak hidup, yaitu: (1) Pidana mati tidak dimasukkan sebagai pidana pokok, tetapi merupakan pidana yang bersifat khusus, dan pelaksanannya bersifat melindungi masyarakat (defense social). (2) Penjatuhan pidana mati tidak boleh dilakukan terhadap anak dibawah usia 18 tahun, (3) Pelaksanaan pidana mati bagi wanita hamil ditunda sampai dengan wanita tersebut melahirkan,dan (4) Pidana mati dilaksanakan setelah ada persetujuan atau penolakan grasi oleh presiden. Kebijakan formulasi penerapan pidana mati dalam Konsep RKUHP tersebut menuju pada trend/kecenderungan penghapusan keberadaan pidana mati. Dari mulai pembatasan, pengurangan sampai dengan penghapusan pidana mati.
Penjatuhan pidana merupakan bagian yang berperan dalam proses pengadilan pidana. Oleh karena itu pelaksanannya harus mendasarkan pada perspektif humanistis dan tujuan pidana integratif serta aliran pemidanaan modern yang mengutamakan perlindungan masyarakat.
Ada 3 hal yang menjadi titik pembicaraan dalam hukum pidana yaitu tindak pidana/criminal act, pertanggungjawaban pidana/criminal responsibility, dan pengenaan pidana/punishment. Penerapan pidana dalam perspektif humanistis harus berdasarkan pada kesalahan pelaku atau yang dikenal dengan asas culpabilitas. Asas ini menyatakan bahwa tiada pidana tanpa kesalahan dari pelaku. Kesalahan dimanifestasikan dalam sikap batin tindak pidana yang berupa dengan sengaja atau dengan kealpaan. Dengan penerapan dualistis dalam mengkaji unsur tindak pidana, maka tidak ada tempat bagi kedua bentuk sikap batin/mental tersebut menjadi bagian inti dari tindak pidana.
Hal ini menjadi tugas pengadilan sebagai garda terdepan penjatuhan pidana, agar dalam menjatuhkan pidana mati harus benar-benar dapat membuktikan ada atau tidaknya kesalahan terpidana melalui proses pengadilan yang adil dan pembuktian yang faktual berdasarkan undang-undang.Tujuan pemidanaa integratif dalam menjatuhkan pidana terutama pidana mati, harus memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut HAM terpidana, dan menjadikan pidana bersifat oprasional dan fungsional.
Dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan harus mengedepankan kriteria tindak pidana yang dilakukannya yaitu sebagai berikut:
(1) Melampaui bataskemanusiaan,
(2) Mencelakai dan mengancam banyak manusia,
(3) Merusak generasi bangsa,
(4) Merusak peradaban bangsa,
(5) Merusak tatanan di muka bumi,
(6) Merugikan serta menghancurkan perekonomian negara.
Dalam penjatuhan pidana mati harus tetapmemperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Proses peradilan dilakukan dengan adil dan atas dasar pembuktian yang faktual,
(2) Kesalahan atau mental state terpidana harus benar-benar dibuktikan di pengadilan,
(3) Pengadilan yang memproses merupakan pengadilan yang berwenang,
(4) Hukum yang digunakan harus hukum yang sah,
(5) Hukuman mati dijatuhkan secara selektif dan telah berkekuatan hukum tetap,
(6) Terpidana mati didampingi rohaniawan sejak putusan bersifat tetap hingga menjelang eksekusi,
(7) Permintaan terakhir terpidana mati harus dapat dipenuhi oleh negara,
(8) Eksekusi dilaksanakan setelah semua hak-hak terpidana mati terpenuhi,
(9) Eksekusi dilaksanakan seeklusif mungkin dan tanpa menimbulkan penderitaan terpidana,
(10) Jenazah diperlakukan sebagaimana layaknya manusia tanpa mengadakan pembedaan.
A. Kesimpulan
1) Penerapan Hukuman Mati dalam sistem hukum di Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup yang tercantum dalam nilainilai pancasila dan dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945. Penjatuhan pidana mati pada hakekatnya negara mengambil hak hidup warganya sehingga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Namun dapat dibenarkan sepanjang penerapannya dengan alasan membela hak asasi manusia warga negara lainnya.
2) Penerapan pidana mati hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang melampaui batas kemanusiaan,mengancam hidup banyak orang, merusak tata kehidupan dan peradaban manusia, dan merusak perekonomian negara. Selain itu, tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana mati antara lain: pembunuhan berencana, terorisme, narkoba bagi pengedar dan bandar, dan korupsi
3) Berdasarkan Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 maka tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia dilakukan dengan ditembak sampai mati, oleh satu regu penembak, yang dilakukan disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan tingkat pertama, terkecuali ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, yang pelaksanaannya dihadiri oleh komisariat daerah (Kapolres) atau perwira yang ditunjuknya bersama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab.
sumber:
http://digilib.uin-suka.ac.id/19073/
E. Utrecht, Rangkuman Sari Kuliah : Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, (Surabaya, 1986), hal. 19.
Bambang Poernomo, Hukum Pidana Karangan Ilmiah (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 7. 5
Prof. Moeljatno, SH, Kitab undang-undang hukum pidana, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003).
Bambang Poernomo, Op. Cit., hlm. 9.
Wawancara Televisi, Tv One, 20 Agustus 2004.
Yahya Ahmad Zein, S.H, M.H, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2012), hal. 121-122.
http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/08/pengertian-pidana.html
Prof. Subekti, S. H dan Tjirosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramida, 1973), hlm. 53.
Kein G. Kartasapoerta, S. H, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), hlm. 6.
Roeslan Salah, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal.16.
Prof.(Em). Dr. J.E. Sahetapy. S.H., M.A., Pidana Mati dalam Negara Pancasila, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007,hlm 72-73
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
R. Sughandi, KUHP Dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hal. 14.