A. Sejarah dan Perkembangan Restorative Justice
Restorative justice atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut. James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong (1997), menjelaskan bahwa keadilan restoratif pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash (1977) yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan keadilan distributif,yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah keadilan restoratif, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Pandangan keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban pelaku sebagai usaha dalam memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban umum.
Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Pendekatan ini dipakai sebagai bingkai strategi penanganan perkara pidana.
Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah membuat pelanggar bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan atas perbuatannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kualitas dirinya. Melibatkan para korban dan pihak-pihak yang terkait di dalam forum sehubungan dengan penyelesaian masalah. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.
Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.
Perkembangan konsep restorative justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Wales, New Zealand dan beberapa Negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah Negara yang sering membentuk perkumpulan dengan Negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restorative justice. Ada 4 (empat) kelompok praktik yang berkembang di Negara-negara yang menjadi pioner penerapan restorative justice yaitu Victim Offender Mediation (VOM), Family Group Conferencing (FGC), Circles, Restorative Board.
Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang terkenal dengan Pancasila-nya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Pada Sila ke-
4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Artinya bangsa Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan yang “win-win solution” tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai.
Dasar hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebelum lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, baik dalam peraturan perundangundangan internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional, antara lain adalah :
1. Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak);
2. The United Nations standard Minimum Rules Of The Administration Of Juvenille Justice (The Beijing Rules);
3. The United Nations Rules Of The rotection of Juvenille Deprived Of Their Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kebebasannya);
4. The United Nations Guidelines For The Oervention Of Juvenille Deliquency (The Riyadh Guidelines);
5. International Convenant On Civil and Political Rights (Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik);
6. Undang-Undang Dasar 1945;
7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
8. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
9. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
10. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
11. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian republik Indonesia;
12. Telegram Rahasian (TR) Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi bagi Kepolisian;
13. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No : SE-002/j.a/1989 tentan Penuntutan Terhadap Anak
B. Nilai-Nilai dalam Restorative Justice
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Susan Sharpe mengemukakan ada 5 (lima) prinsip dalam restorative justice yaitu :
1. Restorative justice invites full participation and consensus. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibnnya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memcah persoalan tersebut. Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku akan diikutkan, apabila tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional;
2. Restorative justice seeks to heat what is broken. Restorative Justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau pemulian korban atas tindak pidana yang menimpanya. Namun pelaku juga membutuhkan penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan mereka dan ketakutan.
3. Restorative justice seeks full and direct accountability. Restorative Justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui kesalahannya serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain;
4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided. Restorative Justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mengingtegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depannya yang lebih cerah.
5. Restorative justice seeks to sterghten the community in order to prevent futher harms. Restorative Justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenanrnya bagi semua orang.
Peradilan pidana anak dengan restorative justice bertujuan untuk :
1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan pelaku;
2. Mengutamakan proses penyelesaian di luar peradilan;
3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;
4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;
5. Mewujudkan kesejahteraan anak;
6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
8. Menghindari stigma negatif;
9. Meningkatkan keterampilan hidup anak,
Keadilan Restorative adalah harmonisasi antar warga masyarakat bukan pada penghukuman. Lima unsur utama keadilan Restorative Justice adalah:
1. Restorative justice adalah satu jenis keadilan yang merupakan konsep hukum proses pidana atau criminal justice sistem yang diakui secara universal dan yang diawali ini semakin banyak digunakan dalam berbagai kasus pidana di negara maju.
2. Restorative justice memandang tindak pidana itu bukan kejahatan terhadap negara/publik melainkan kejahatan terhadap korban. Ini bisa berbentuk perseorangan atau beberapa orang/kelompok.
3. Restorative justice berfokus pada penderitaan atau kerugian yang diderita oleh korban dan bukan pada pemidanaan terhadap pelaku.
4. Restorative justice dapat berwujud dialog langsung atau tidak langsung dalam wujud mediasi ataupun rekonsiliasi ataupun pengadilan.
5. Restorative justice tidak hanya dalam wujud rekonsiliasi yang bersifat transsisional seperti dalam pemaparan.
C. Model-Model Restorative Justice
Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan modal dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Maka dari itu pada dasarnya restorative justice dikenal juga dengan penyelesaian perkara melalui mediasi (mediasi penal). Hal ini dikarenakan tidak sedikit aparat penegak hukum yang belum menyadari pentingnya penyelesaian perkara dengan jalur damai atau mediasi penal dan belum memahami konsep dan pengimplementasian penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif oleh karena kedua konsep tersebut (konsep keadilan restoratif dan konsep mediasi penal) relatif baru dalam penegakan hukum pidana.
D. Penerapan Restorative Justice di Indonesia
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau UndangUndang No. 8 tahun 1981. Dikatakan demikian karena UndangUndang No. 8 tahun
1981 atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan atau kewenangankewenangan yang diberikan kepada negara dalam menegakkan hukum pidana yakni kepolisian, kejaksaan, hakim dan lembaga pemasyarakatan. Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan istilah law enforcement system karena di dalamnya mengandung suatu pemahaman, bahwa pada dasarnya apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu merupakan usaha konkrituntuk menegakkan aturan-aturan hukum abstrak.
Terkait dengan integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu, Muladi dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana” menegaskan bahwa makna sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system merupakan suatu sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam beberapa hal berikut ini:20 1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum; 2) Sinkronisasi substantial (substansial syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan 3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keselarasan dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Restorative justice dapat dirumuskan sebagai sebuah pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Selain itu, restorative justice dapat dijadikan suatu kerangka berpikir yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Term keadilan restoratif dalam UU ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 sebagai berikut: ―Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Konsep keadilan
restoratif yang disodorkan dalam UU ini secara garis besar sejalan dengan kerangka teoretik sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan tentang kewajiban mengupayakan diversi dalam tindak pidana anak (Pasal 5 ayat (3)) dan ketentuan yang menyatakan bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir (Pasal 81 ayat (5)).
Namun demikian, sistem peradilan pidana anak dalam UU ini nampak belum sepenuhnya merefleksikan sistem peradilan restoratif yang bersifat komprehensif. Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam UU ini cenderung memfokuskan pada program diversi, yakni ―pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana‖ (Pasal 1 Angka 7).
Dengan kata lain, UU ini masih memahami keadilan restoratif sebagai suatu usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Padahal diversi itu sendiri hanyalah salah satu program dalam sistem peradilan restoratif. Menurut Zehr, pendekatan keadilan restoratif dapat diwujudkan ke dalam tiga kategori program restoratif, yakni program alternatif atau diversi (alternative or diversionary programs), program pemulihan atau terapi (Healing or therapeutic programs) dan program transisional (transitional programs). Program diversi bertujuan untuk mengalihkan kasus atau memberikan alternatif dari beberapa bagian proses peradilan pidana atau hukuman. Jaksa dapat membuat rujukan, menunda penuntutan dan akhirnya menghentikannya jika kasus tersebut dapat diselesaikan secara memuaskan. Demikian pula seorang hakim dapat merujuk kasus ke sebuah pertemuan restoratif untuk memilah-milah elemen-elemen hukuman, seperti restitusi. Di sisi lain, program pemulihan atau terapi biasanya dikembangkan untuk jenis kejahatan dan kekerasan yang paling parah, seperti pemerkosaan dan pembunuhan. Pelaku dalam konteks ini biasanya berada di dalam penjara. Program ini pada umumnya dilakukan sebagai suatu upaya untuk merehabilitasi pelaku. Sedangkan program transisional biasanya berkaitan dengan masa transisi pelaku setelah keluar dari penjara. Program ini dirancang untuk memulihkan luka korban dan menstimulus pertanggungjawaban pelaku serta membantu baik korban maupun pelaku untuk kembali ke masyarakat.
Dalam konteks ini, pendekatan keadilan restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012 cenderung menekankan pada kejahatan ringan dan memfokuskan pada diversi sebagai salah satu bentuk program keadilan restoratif. Pemahaman semacam ini mengabaikan fakta bahwa keadilan restoratif sesungguhnya merupakan suatu prinsip dan pedoman yang harus dipenuhi dalam seluruh rangkaian proses peradilan pidana anak—demikian pula peradilan pidana secara umum—mulai dari proses penyidikan, penuntutan, penghukuman, penahanan dan pasca tahanan sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak yang bersifat parsial ini nampaknya disebabkan oleh miskonsepsi umum dalam memahami keadilan restoratif, yakni menyepadankan keadilan restoratif dengan mediasi dan menganggapnya sebagai pengganti dari sistem peradilan pidana. Kendati demikian, terlepas dari pelbagai kekurangan tersebut, UU
No. 11 Tahun 2012 telah menyodorkan terobosan baru dan diharapkan dapat menjadi
“gong pembuka” dalam agenda reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restoratif.
Referensi:
1. Kompasiana, “Restorative Justice,”https://www.kompasiana.com/amelindanurrahmah/55101738813311ae33bc6294/restorative-justice, diakses 16 November 2020.
2. Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 181.
3. Jecky Tengens, “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia,” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistempidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-?page=2, diakses 16 November 2020.
4. Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 74.
5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasionale Departemen Hukum dan HAM, 2009)
6. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika Serikat, 2004, hlm.901.