Senin, 29 Maret 2021

Penerapan Fair Trial dan Faktor-Faktor yang Menghambat Proses Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia


Mata kuliah: Sistem Peradilan Pidana 

Dosen: Dr. Mas Putra Zenno Januarsyah, S. H., M. H.

Sekolah Tinggi Hukum Bandung


 BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

 

Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Hukum Pidana menduduki posisi sentral dalam Sistem Peradilan Pidana yaitu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hukum pidana menjadi penting perannya, sekarang dan di masa mendatang bagi masyarakat sebagai kontrol sosial untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan. Proses hukum yang adil dan Sistem Peradilan Pidana tidak mungkin dapat dipisahkan, karena tidak mungkin orang dapat membicarakan proses hukum yang adil tanpa menyinggung masalah Sistem Peradilan Pidana. Proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa.

Pasal 5 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, oleh karena itu berhak memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaan di depan hukum. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak..

Fair trial atau Peradilan yang adil adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator dari terbangunnya masyarakat dan sistem hukum yang adil. Fair trial adalah norma dasar, prinsip dalam hukum yang memastikan terlaksananya administrasi keadilan yang layak (proper administration of justice). Fair trial juga berbentuk hak bagi para terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang adil. Konvenan hak sipil dan politik sudah menetapkan hak-hak fair trial dalam pasal 9-15. Hak-hak itu adalah hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; hak dan kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan; hak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum; hak untuk diberitahukan secepatnya dengan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan; hak atas waktu yang cukup dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan; hak untuk diadili tanpa penundaan; hak untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya; hak mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; hak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.

Di Indonesia sendiri penerapan Fair Trial menjadi persoalan serius yang harus dibenahi. Sejumlah kasus telah mewarnai ketidakadilan dan ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam hal penanganan perkara.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan penegakan peradilan yang adil atau Fair Trial dengan judul “PENERAPAN DAN FAKTOR PENGHAMBAT FAIR TRIAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”

 

 

B. Identifikasi Masalah

 

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan yaitu:

1. Bagaimana Penerapan fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

2. Apa faktro-faktor yang menghambat proses fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

BAB II

PERADILAN YANG ADIL (FAIR TRIAL)

 

A. Pengertian Peradilan yang Adil (Fair Trial)

Peradilan yang adil atau Fair Trial adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator dari terbangunnya masyarakat dan sistem hukum yang adil. FaTanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, orang – orang yang tak bersalah akan banyak memasuki sistem peradilan pidana dan kemungkinan besar akan masuk dalam penjara. Tanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta sistem peradilan akan runtuh.

Fair Trial merupakan hak asasi untuk siapapun yang sedang diadili untuk memperoleh perlakukan yang jujur dan adil sepanjang proses peradilan. Prinsip dan prosedur Fair Trial, hak atas peradilan yang adil hanya akan memenuhi maksudnya apabila yang tengah didakwa adalah mereka yang berkedudukan marjinal dan dengan sistem pengadilan inkuisitor bukan dengan sistem peradilan yang akusatur di mana hakim menyerahkan kebenaran materiil perkara sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berperkara.

 

B. Sejarah Peradilan yang Adil ( Fair Trial )

Pada hakikatnya proses peradilan yang adil yang ada dalam hukum acara pidana sebenarnya bertalian dengan asas legalitas di hukum pidana meteriilnya yakni sama-sama hendak melindungi hak-hak warga Negara dengan cara membatasi kekuasaan pemerintah (penguasa) serta mengaturnya dalam Undang-Undang. Awal mula dari munculnya proses peradilan yang adil  (Fair Trialsebenarnya sudah ada pada zaman Rasulullah SAW, yakni dengan dibuatnya Piagam Madinah antara umat islam dengan kaum yahudi. Salah satu poin dari isi dari Piagam Madinah tersebut penghargaan terhadap hak-hak fundamental dari manusia yang notabene berbeda-beda suku, jenis, dan bangsa Dengan perjalanan waktu, proses hukum yang adil ini muncul pada tataran piagam Magna Charta di Inggris pada tahun 1215 dan Rancangan Undang-Undang (Bill Of Right 1628), yang selanjutnya diatur pada Undang-Undang (Habeas Corpus Act 1679).

Ternyata, waktu yang dibutuhkan untuk mengartikulasikan gagasan tentang perlunya jaminan perlindungan hak-hak warga Negara Inggris, dengan cara membatasi kekuasaan raja (termasuk kewenangan hakim) memerlukan sekitar 4,5 (empat setengah) abad, yakni sejak dibuatnya Magna Charta pada tahun 1215, Bill Of Right pada tahun 1628, sampai Habeas Corpus Act pada tahun 1679. Rentan waktu yang sangat lama untuk mengartikulasi dan mengkulminasikan suatu gagasan. Tidak mengherankan, apabila gagasan perlunya jaminan perlindungan hak-hak warga Negara, dengan cara membatasi kekuasaan raja dan kewenangan hakim yang sudah mencapai puncaknya di Inggris menjadi sumber inspirasi bagai para pemikir perancis untuk menumbuh kembangkan gagasan tersebut. Gagasan tersebut kemudian digunakan untuk melakukan kritik dan penolakan terhadap keabsolutan kekuasaan raja dan kewenangan hakim dengan peradilan pidana arbitrium juridisnya. Revolusi perancis tersebut menghasilkan Code Penal yang kemudian hari menjadi sumber kodifikasi hukum dibanyak Negara modern, antara lain Belanda dan Indonesia.

Berdasarkan konstitusi Perancis, perlindungan terhadap seseorang tidak hanya menyangkut hukum pidana dalam pengertian hukum pidana materiil sematatetapi juga dalam pengertian hukum pidana formil. Bahkan perlindungan terhadap kepentingan individu dari proses hukum yang sewenang-wenang mendapat perhatian yang lebih utama dengan ketentuan dalam Pasal 7. Hal ini dapat dipahami karena dalam konteks hukum acara pidana, sedikit-banyaknya terjadi pengekangan terhadap hak asasi manusiaPada tahun 1948, tercetuslah Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Right) yang di deklarasikan pada rapat umum PBB, kemudian diatur juga dalam konvensi Eropa untuk perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental (European Convention For The Protection Of Human Rights And Fundamental Fredoms) pada tahun 1950 yang diberi title No Punishment Without Law, aturan yang hampir sama terdapat dalam Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (United Nations International Covenant on Civil and Politic Rights) pada tahun 1966 yang sering disebut dengan ICCPR.

Dalam konteks Indonesia, perjuangan menegakkan prinsip peradilan yang adil telah lama dimulai. Salah satu yang menjadi cornerstone dan dianggap sebagai karya agung dari bangsa Indonesia adalah UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (atau lebih sering disebut sebagai KUHAP). Selepas pemberlakuan KUHAP, berbagai instrument hak asasi manusia juga diadopsi dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional, diantaranya adalah United Nations Convention Against Corrruption, International Convention Against Torture, dan International Covenant on Civil and Political Rights.

 

C. Konsep Peradilan yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan Pidana

Proses peradilan yang adil (Fair Trial) merupakan intisari atau roh dari sistem peradilan pidana, mengingat bahwa sistem peradilan pidana adalah wadah dari proses peradilan yang adil sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa adanya system peradilan pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Muladi memandang sistem peradilan pidana sebagai suatu jaringan (network) yang mengoprasionalisasikan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Dalam hal ini dapat berupa hukum materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana. Sementara itu, Barda Nawawi Arief mengartikan sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu perhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantive maupun hukum acara pidana. Pada dasarnya, perundang-undangan pidana merupakan penegaklan hukum pidana in abstracto yang diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concreto.

Berdasarkan penjabaran diatas, jelaslah relevansi sistem peradilan pidana dengan proses hukum yang adil. Sebab, sistem peradilan pidana sebagai sistem penegakan hukum dengan sendirinya harus mencerminkan adanya perlindungan terhdap hak-hak tersangka/ terdakwa. Sedangkan hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam sistem peradilan pidana merupakan prasyarat atas terselenggaranya proses peradilan yang adil. Secara teoritik, “due process of law” adalah jalan bagi proses peradilan yang adil dan manusiawi dalam setiap tahap peradilan (procedural design), baik pada tahap pra-ajudikasi (pre-ajudication), tahap ajudikasi (ajudication) dan tahap purna-ajudikasi (postajudication). Ketiga proses peradilan itu harus berjalan dan dijalankan dengan menjunjung tinggi hukum dan kemanusian sekaligus.

D. Teori Keadilan

1. Pengertian Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif.

2. Keadilan Menurut Para Ahli

a. Teori Keadilan Aristoteles

Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan.

Selain itu Aristoteles juga membedakan antara keadilan distributif dengan keadilan korektif. Keadilan distributif menurutnya adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat. Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.

b. Teori Keadilan Roscoe Pound

Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil- kecilnya.

c. Teori Keadilan Hans Kelsen

Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi – keadilan toleransi.

d. Teori Keadilan Thomas Hobbes

Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati.

 

 

BAB III

PENERAPAN DAN FAKTOR PENGAHAMBAT FAIR TRIAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

 

A. Penerapan Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Fair Trial menurut kamus hukum diartikan sebagai persidangan pengadilan yang dilakukan sesuai dengan prosedur. Salah satu unsur penting adalah ketidakberpihakan. Ketidakberpihakan dapat diartikan sebagai peradilan yang berimbang, yang lebih tepat dengan asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law. Fair Trial merupakan perwujudan dari perlindungan terhadap hak asasi manusia yang mendasari berkerjanya sistem peradilan pidana.

John Friedrich Staal sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Jimly Assiddiqie menyebutkan, setidaknya terdapat 4 (empat) unsur dalam negara hukum, yaitu adanya pengakuan hak asasi manusia, adanya pembatasan kekuasaan, adanya pemerintahan yang berdasarkan pada Undang-undang, dan adanya Pengadilan administrasi negara. Dengan demikian dapat dilihat bahwa prinsip dasar dari negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang secara jelas dan tegas di atur secara khusus dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada  Bab XA yang terdiri dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Adapun Fair Trial secara eksplisit diatur dalam Pasal 28D,28G ayat (1) dan (2), 28I ayat (2) dan (4) UUD 1945.

Prinsip Fair Trial sebagaimana yang dijelaskan di atas kemudian diwujudkan dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari berbagai sub sistem yang mana masing-masing sub sistem tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda namun saling berhubungan. Sistem Peradilan Pidana yang diterapkan di Indonesia didasarkan pada berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menggantikan HIR, sehingga sistem peradilan pidana yang diterapkan mulai bergeser kepada model Adversary system.  Adversary system merupakan model yang banyak berkembang di negara-negara common law, yang memiliki karakteristik adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau yang berlandaskan pada due process of law.

Adapun tujuan utama dari adversary system adalah untuk melindungi orang yang tidak bersalah dan menuntut orang yang bersalah dengan proses penyelidikan secara formal dan penemuan fakta secara objektif di ahdapan persidangan. Dengan mulai bergesernya sistem peradilan pidana kepada model adversary system, maka seharusnya para aparat penegak hukum dapat menekan terjadinya unfair trial dalam sistem peradilan pidana, namun yang terjadi justru sebaliknya.

Pada kasus yang telah disebutkan di atas, perlu diuraikan bagaimana sub sistem peradilan pidana yaitu penyelidikan dan penyidikan dapat bekerja sebagaimana di atur dalam KUHAP. Dalam melakukan penyidikan, Penyidik harus memperhatikan hak-hak yang dimilki oleh seseorang, tanpa menggunakan ancaman ataupun kekerasan. Dalam proses peradilan pidana, paradigma yang hendak dikembangkan yakni, warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa, tidak lagi dipandang sebagai obyek tetapi subyek yang mempunyai hak dan kewajiban dapat menuntut ganti rugi atau rehabilitasi apabila petugas salah tangkap, salah tahan, salah tuntut dan salah hukum. Bekerjanya peradilan pidana secara terpadu akan membawa kepada pemahaman secara sistemik.

Didalam pertimbangan Huruf (a) KUHAP atau menyebutkan bahwa: “Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Ketentuan di atas memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara tanpa terkecuali. Dalam proses peradilan pidana dalam menjamin perlindungan hak warga negara tanpa keberpihakan maka prinsip Fair Trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang harus ditegakkanPenerapan prinsip Fair Trial sangat berperan untuk menjaga peradilan tetap independen (jujur dan mandiri) dari “sentuhan” mafia peradilan.

Adapun prinsip prinsip fair trial yang di maksud antara lain:

1. Praduga tidak bersalah (presumption of innocence), terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan didepan sidang pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang telah  memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde);

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang salah satu isinnya berkaitan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah yang diatur pada Pasal 8 yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan fakta selama ini, penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah belum sepenuhnya diterapkan karena banyak kasus tersangka proses penahananditahan melebihi jangka waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan selama ditahan tersangka tidak diperlakukan secara patut dan wajar, sering mendapat kekerasan.

2. Persamaan dimuka hukum (equality before the law), adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang dimuka hukum/hakim dengan perlakukan yang berbeda;

UUD 1945 mengakui prinsip ini hal tersebut tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum.Asas Equality Before The Law adalah bagian dari rule of law atau diterjemahkan sebagai negara hukumNegara hukum akan menempatkan warga negaranya setara atau sama kedudukannya di depan hukum (bandingkan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945)Setiap warga negara tidak boleh ada yang menikmati keistimewaan dalam setiap proses penegakan hukum. Apabila ada terjadi kebalikan maka pengingkaran terhadap prinsip Equality Before The Law melahirkan diskriminasi dalam di depan hukumEquality Before The Law menjadi jaminan untuk mencapai keadilan (hukum).

Berdasarkan pengalaman yang tertangkap selama ini adalah nilai equality before the law tidak diterapkan dengan sungguh-sungguh, nilai tersebut tidak lebih dari sekedar jargon atau lip service. Jika nilai ini diterapkan dengan sungguh-sungguh maka diskresi tidak akan diberikan secara semena-mena. Diskresi selama ini diberikan kepada kalangan tertentu yang umumnya memiliki power baik itu dalam pengertian politik, sosial ataupun ekonomi.

3. Asas Legalitas

Istilah asas legalitas berasal dari bahasa latin yang berbunyi, “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”, yang berarti tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa peraturan terlebih dahulu. Rumusan Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali ini pertama kali dikemukakan oleh sarjana hukum pidana Jerman terkenal Von Feuerbach.

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Seseorang yang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan hukum, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau kelalaiannya, menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar maka akan dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administratif.

4. Hak atas Kemerdekaan dan Keamanan Pribadi serta Larangan Penangkapan dan Penahanan sewenang-wenang.

Pada prinsipnya. Seseorang itu hidup bebas dan memiliki hak untuk dan atas kemerdekaan pribadinya. Pembatasan kemerdekaan seseorang melalui penangkapan dan penahanan dalam proses pidana hanya dan hanya jika terdapat alas dasar yang sesuai dengan hukum, seperti bukti yang cukup dan adanya alas hak berupa kewenangan aparat hukum dan surat perintah dari instansi berwenang. Prinsip dasarnya, penangkapan dan penahanan sama sekali tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan harus dilaksanan oleh aparat berwenang berdasarkan ketentuan dan prosedur hukum yang berlaku.

5. Hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan penahanan.

Setiap orang yang ditangkap atau ditahan berhak untuk diberitahu dalam bahasa yang diketahuinya, tentang alasan-alasan penangkapan, tuntutan apa yang diajukan, dan diberitahukan mengenai hak-haknya dan diberi penjelasan juga bagaimana ia dapat menggunakan hak-haknya tersebut.

6. Hak atas bantuan hukum.

Setiap orang yang menghadapi tuduhan pidana berhak untuk didampingi oleh penasihat hukum atas pilihannya sendiri untuk melindungi hak-haknya dan untuk mendampinginya dalam pembelaan. Jika orang tersebut tidak mampu membayar biaya pengacara, harus ditunjuk penasihat hukum yang berkualitas baginya. Orang tersebut juga harus diberikan waktu yang layak dan fasilitas yang cukup untuk berkomunikasi dengan penasihat hukumnya.

7. Hak untuk diajukan dengan segera ke hadapan hakim dan persidangan dengan waktu yang masuk akal.

Setiap orang berhak untuk segera mendapatkan kepastian hukum atas proses hukum yang dihadapinya. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan adanya penundaan ataupun upaya-upaya yang memperlambat proses pidana yang sedang dijalaninya.

 

Penerapan prinsip Fair Trial dalam penyelenggaraan peradilan merupakan sesuatu yang esensial karena menjadi jaminan agar peradilan berjalan tidak sewenang-wenang. Dalam konteks Indonesia, penerapan prinsip Fair Trial ini masih menjadi persoalan serius untuk dibenahi. Beberapa kasus menunjukkan bahwa peradilan Indonesia masih marak dengan Unfair Trial mulai dari penyiksaan, penahanan tanpa alasan yang jelas, pendampingan penasehat hukum yang tidak substansial, pemeriksaan yang tidak berimbang, hingga pemberian kompensasi yang tidak berlaku secara otomatis.

ICJR secara spesifik mengamati kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dimana pelanggaran terhadap hak atas Fair Trial yang cukup serius juga terjadi. Pelanggaran tersebut antara lain:

1. Pelanggaran hak atas penasehat hukum: Kasus Yusman menggambarkan kualitas pembelaan dari penasehat hukum yang tidak memadai pada tingkat pertama sampai terdakwa dijatuhi hukuman mati, bahkan penasehat hukum ini justru meminta hukuman mati bagi kliennya. Kemudian Kasus Merri Utami  yang diberikan seorang penasehat hukum, namun penasehat hukum ini tidak melakukan langkah-langkah sebagaimana pembelaan yang benar, misalnya ia diketahui tidak pernah secara fakta mendampingi ketika proses interogasi, tidak pernah memberikan nasehat hukum, dan tidak pernah menerangkan proses hukum yang sedang dijalani.

2. Pelanggaran hak atas penerjemah yang kompeten: Kasus Rodrigo yang pada awalnya diberikan penerjemah bahasa Inggris sementara yang digunakan Rodrigo adalah bahasa Portugis, sehingga ia  tidak mengerti substansi isi berkas yang harus ditandatangani.

3. Pelanggaran hak untuk tidak disiksa dan mendapat perlakuan yang manusiawi: Kasus Christian yang berdasarkan keterangannya bahwa pada saat pemeriksaan berlangsung, dirinya diancam akan dihabisi, dipukuli, hingga ditembakkan pistol ke arah pelipisnya. Christian ditangkap di jalanan dan kemudian dibawa ke tempat kejadian perkara agar mau mengakui barang-barang di TKP adalah miliknya. Kemudian kasus Zulfiqar Ali yang mengalami berbagai kekerasan dan penyiksaan oleh oknum anggota kepolisian seperti diikat, dipukul dengan tongkat, ditendang, dan diseret menggunakan mobil dengan tangan terkait dengan maksud mengintimidasi Zulfiqar agar menandatangani sejumlah dokumen.

4. Pelanggaran hak untuk tidak dihukum mati dalam keadaan tertentu: Kasus Dita yang berdasarkan dokumen putusan pada tingkat pertama dan banding dapat diketahui bahwa usianya saat melakukan tindak pidana sebenarnya masih bawah 18 tahun, yakni 17 tahun 8 bulan. Namun anak tersebut tetap dijatuhi hukuman mati karena terdapat indikasi ketidak hati-hatian ketika usia Dita dituliskan 18 tahun dalam putusan.

 

Dalam Catatan Akhir Tahun 2019, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyatakan ada 56 pengaduan dari 222 pencari keadilan mengenai pelanggaran Fair Trial. Salah satunya adalah kasus kekerasan yang dilakukan oknum polisi pada saat penyidikan Selain kekerasan pada saat penyidikan yang dilakukan oknum kepolisian terhadap tersangka dan memaksa tersangka untuk mengakui kesalahan yang tidak ia perbuat. Pelanggaran hak atas Fair Trial juga dialami oleh para terpidana mati. Pelanggaran yang ditemukan berupa 11 kasus terindikasi penyiksaan yang dialami oleh terpidana mati, 16 dugaan pelanggaran pada proses penahanan dan tujuh kasus pelanggaran hak untuk mendapatkan penasihat hukum sebelum persidangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum menerapkan Fair Trial dengan baik.

 

B. Faktor-faktor yang Menghambat Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Hambatan yang sering terjadi dalam sistem peradilan pidana yakni salah satunya adanya penyidik yang belum bertindak secara profesional didalam melakukan penyidikan, sehingga melahirkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Ada beberapa faktor penghambat dalam penerapan fair trial yang terjadi pada proses peradilan diantaranya:

1. Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka terkait dengan kasus-kasus tertentu seperti kasus pemerkosaan dan kasus kesusilaanmasih sulit mendapatkan keterangan dari tersangka. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan tersangka enggan atau merasa malu untuk menceritakan aibnya kepada penyidik dan alasannya juga karena hal itu akan memberatkan atau merugikan bagi dirinya di muka persidangan sehingga penyidik sulit untuk mendapatkan keterangan yang jujur atau sebenar-benarnya dari tersangka

2.  Selain itu juga, Kurang efektifnya pengembangan kualitas sistem pengawasan dan kontrol dari instansi terkait serta kurangnya peningkatan profesionalitas dari para penegak hukum yang harus disertai dedikasi dan rasa pengabdian yang tinggi untuk menegakkan keadilan. Dalam hal ini termasuk pula mental dari para penyidik yang belum sepenuhnya memiliki sifat kemanusiaan tinggi karena masih membedakan yang lemah dan yang kuat dalam masalah ekonomi, jabatan atau pekerjaan;

3. Adanya sistem tebang pilih yang dilakukan aparat cenderung menyebabkan kredibilitas dari aparat penegak hukum menjadi rendah dimata masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat kurang percaya terhadap lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan pengadilan dalam menangani suatu kasus sehingga masyarakaat awam atau masyarakat yang kurang mengetahui hukum cenderung menyelesaikan kasusnya menggunakan hukum adat mereka masing-masing karena mereka menganggap berperkara di pengadilan cenderung bersifat prosedural, berbelit-belit dan hasilnya sering tidak memuaskan para pihak atau putusannya sering tidak sesuai dengan nilai keadilan yang tumbuh pada hati sanubari masyarakat.

4. Dari hasil temuan penulis bahwa faktor utama yang menghambat proses Fair Trial dalam sistem peradilan pidana di indonesia adalah pertamafaktor hukumnya sendiri artinya membuat dan menerapkan hukumnya atau Undang-undang yang baik itu berdasarkan agama, sosial budaya. Kedua, faktor penegaknya, artinya tidak semua penegak hukum bisa menegakkan hukum tetapi yang bisa menegakkan hukum adalah penegak hukum yang mempunyai kesadaran hukum dan tentu sekali ituada kualifikasinya. Ketiga, faktor budaya hukum masyarakat, mencakup nilai nilai yang mendasari hukum yang berlaku, karena budaya itu merupakan pikiran, suatu perilaku dan kebiasaan dalam suatu masyarakat hukum. Keempat adalah pendidikan hukum,karena pendidikan hukum yang akan membentuk dan merevolusi karakter mental seorang penegak hukum menuju harapan masyarakat, dengan demikian bahwa penegakan hukum bukan merupakan proses yang tertutup melainkan proses yang melibatkan lingkungannya.

Selain itu, penerapan prinsip Fair Trial di tingkat penyidikan tentunya terdapat hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang ditemui selama proses penyidikan, baik yang datang dari pihapenyidik sendiri maupun dari pihak tersangka, yang dapat menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya secara baik penerapan prinsip Fair Trial. Adapun hambatan-hambatan tersebut antara lain:

1. Hambatan dari Pihak Penyidik

a. Profesionalisme, pengetahuan, dan pengalaman yang kurang dari oknum penyidik merupakan hambatan yang sering terjadi dalam penerapan asas praduga tak bersalah. Sikap-sikap seperti ini yang sering kali membuat penyidik mengabaikan perlunya penghormatan terhadap hak-hak tersangka selama proses penyidikan, sebagai perwujudan dari asas praduga tidak bersalah, sehingga tindakan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap tersangka lambat laun akan hilang.

b. Perilaku dan tindakan oknum aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik dalam melakukan pemeriksaan bersikap arogan, mereka menganggap sebagai pemegang nasib tersangka, sehingga pemeriksaan yang dilakukan terkadang menggunakan cara cepat yaitu dengan cara kekerasan atau tekanan guna memperoleh pengakuan dari tersangka

2. Hambatan dari Pihak Tersangka

a. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran dari tersangka tentang arti pentingnya bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum sebagai pendampingan terhadap tersangka sejak ia ditangkap, guna mendapatkan pembelaan secara dini.

b. Sikap tidak mau bekerjasama, tersangka tidak mau memberikan keterangan yang dapat menjadikan terang suatu tindak pidana. Tersangka terkadang juga dalam memberikan keterangan berbelit-belit dan sifatnya selalu ingin menghindar dari tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh tersangka.

c. Keadaan psikologi tersangka yang tertekan karena kesan menakutkan yang dimiliki Polisi sebagai penyidik. Tersangka seringkali merasa takut pada saat akan dilakukan pemeriksaan, terlebih-lebih mereka yang baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kurang pahamnya tersangka akan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka selama dalam pemeriksaan ditingkat penyidikan, maka keadaan ini digunakan oleh penyidik untuk mempercepat proses penyidik.

 

BAB IV

PENUTUP

 

A. Simpulan

1. Penerapan Fair Trial dalam sistem peradilan pidana harus mencerminkan prinsip-prinsip Fair Trial. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah: Praduga tidak bersalah (presumption of innocence), Persamaan dimuka hukum (equality before the law), Asas Legalitas, Hak atas Kemerdekaan dan Keamanan Pribadi serta Larangan Penangkapan dan Penahanan sewenang-wenang, hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan penahanan, Hak atas bantuan hukum dan Hak untuk diajukan dengan segera ke hadapan hakim dan persidangan dengan waktu yang masuk akal. Di Indonesia, prinsip-prinsip Fair Trial belum sepenuhnya diterapkan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa peradilan Indonesia masih marak dengan Unfair Trial mulai dari penyiksaan, penahanan tanpa alasan yang jelas, pendampingan penasehat hukum yang tidak substansial, pemeriksaan yang tidak berimbang, hingga pemberian kompensasi yang tidak berlaku secara otomatis. 

2. Faktor-faktor yang menghambat Fair Trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia antara lain:

a. Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka masih sulit mendapatkan keterangan yang jujur, apalagi terkait dengan kasus-kasus tertentu seperti kasus pemerkosaan dan kasus kesusilaanHal ini disebabkan oleh kecenderungan tersangka enggan atau merasa malu untuk menceritakan aibnya kepada penyidik dan alasannya karena hal itu akan memberatkan atau merugikan bagi dirinya di muka persidangan sehingga penyidik sulit untuk mendapatkan keterangan yang jujur atau sebenar-benarnya dari tersangka;

b. Kurang efektifnya pengembangan kualitas sistem pengawasan dan kontrol dari instansi terkait serta kurangnya peningkatan profesionalitas dari para penegak hukum yang harus disertai dedikasi dan rasa pengabdian yang tinggi untuk menegakkan keadilan.

c. Adanya sistem tebang pilih yang dilakukan aparat.

d.  Faktor utama yang menghambat proses fair trial dalam sistem peradilan pidana di indonesia adalah pertama faktor hukumnya sendiriKedua, faktor penegaknyaKetiga, faktor budaya hukum masyarakat, mencakup nilai nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Dan yang keempat adalah pendidikan hukum.

Selain itu, penerapan prinsip Fair Trial di tingkat penyidikan tentunya terdapat hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang ditemui selama proses penyidikan, baik yang datang dari pihapenyidik sendiri maupun dari pihak tersangka, yang dapat menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya secara baik penerapan prinsip Fair Trial

B. Saran

1. Dalam menerapkan prinsip Fair Trial di Indonesia, diperlukan pembenahan khusus terhadap Sistem Peradilan di Indonesia. Dengan banyaknya kasus pelanggaran terhadap prinsip Fair Trial, Pemerintah harus cepat bertindak agar kasus-kasus pelanggaran terhadap prinsip Fair Trial tidak terus bertambah. Pembenahan terhadap seluruh sistem peradilan di Indonesia yang mencakup struktur, substansi dan cultur hukumnya. Faktor yang sangat penting dalam pembenahan itu adalah sumber daya manusia sebagai salah satu faktor yang sangat esensial untuk melakukan perubahan secara total. Jadi yang paling ideal yang diharapkan Indonesia saat ini adalah sistemnya baik dan orang yang mengemban system itu juga orang baik, tetapi yang paling sentral dari system itu adalah penegak hukumnya.

2. Perlunya pembenahan terhadap Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Aparat Hukum yang melanggar prinsip Fair Trial harus cepat diproses. Aparat yang melakukan kekerasan terhadap tersangka dapat diproses pidana atau pencabutan jabatan. Penegak hukum harus punya kesadaran hukum karena kesadaran hukum akan menghasilkan ketaatan/kepatuhan terhadap hukum.

TEORI HUKUM FEMINIS

Latar belakang lahirnya pemikiran hukum feminis ini, adalah: 1. sebagai akibat dari adanya gerakan perempuan tiga dekade yang lalu yang cuku...