Jumat, 30 Desember 2022

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL DAN REGIONAL PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas untuk Memenuhi Tugas Hukum HAM


Mata Kuliah:
Hukum Hak Asasi Manusia
Dosen:
1. Dr. Walter Wanggur, S.H., M.H.
2. Meliyani Sidiqah, S.H., M.H.
SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG 















INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL DAN INSTRUMEN HUKUM
REGIONAL PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
a. Instrumen Hukum Internasional Perlindungan HAM
Instrumen hukum internasional adalah perjanjian dan teks internasional
lainnya yang berfungsi sebagai sumber hukum untuk hukum hak asasi manusia
internasional dan perlindungan hak asasi manusia secara umum.
Penegakan HAM secara internasional dapat didasarkan pada instrumen
HAM internasional yang terdiri atas berbagai jenis antara lain:
1. Deklarasi
    1) Declaration by United Nation (Deklarasi           PBB)
Deklarasi PBB diterbitkan tanggal 8 januari 1975. pernyataan
tentang HAM dalam deklarasi ini tercermin dalam penggalan kalimat yang berbunyi: “bahwa kemenangan adalah penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independence, dan kebebasan beragama serta untuk mempertahankan Hak Asasi Manusia dan keadilan”.
      2) Deklarasi Universal Hak Asasi       Manusia (DUHAM)DUHAM merupakan langkah besar yang diambil oleh masyarakat
internasional pada tahun 1948. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut
secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas kebebasan dan
keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan
penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak
bersalah sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut.
Dalam instrumen internasional terdapat dua kovenan internasional yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
       3) Deklarasi tentang Hak-hak Penyandang Cacat (PBB, 1975)
      Deklarasi tentang Hak-Hak Penyandang    Cacat adalah deklarasi Majelis Umum          Perserikatan Bangsa-Bangsa , dibuat pada
tanggal 9 Desember 1975. Ini adalah resolusi ke 3447 yang dibuat oleh Majelis.
       4) Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan ( PBB , 1986).
Hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dicabut (an inaliable right) dengan dasar setiap individi dan seluruh manusia memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Hak untuk pembangunan pertama kali diakui pada tahun 1981 dalam Pasal 22 Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat sebagai hak individu dan kolektif yang definitif. Pasal 22 (122) menyatakan bahwa: "Semua orang akan memiliki hak untuk pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka dengan memperhatikan kebebasan dan identitas mereka dan dalam kenikmatan
yang sama atas warisan bersama umat manusia."
Hak untuk pembangunan kemudian diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1986 dalam "Deklarasi
tentang Hak atas Pembangunan," yang diadopsi oleh resolusi Majelis Umum PBB 41/128. Hak atas pembangunan adalah hak
kelompok orang-orang yang bertentangan dengan hak individu , dan ditegaskan kembali oleh Deklarasi Wina dan Program Aksi tahun 1993.
           5) Deklarasi Wina dan Program Aksi ( Konferensi Dunia Hak Asasi
Manusia , 1993).
Deklarasi Wina dan Program Aksi ditetapkan sebagai hak universal dan tidak dapat dicabut dan merupakan bagian integral dari manusia fundamental. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi
tentang Hak atas Pembangunan, manusia adalah subjek utama pembangunan. Sementara pembangunan memfasilitasi penikmatan semua hak asasi manusia, kurangnya pembangunan mungkin tidak
dapat digunakan untuk membenarkan penjumlahan hak asasi manusia yang diakui secara internasional.
         6) Deklarasi Tugas dan Tanggung Jawab Manusia ( UNESCO , 1998).
Deklarasi Tugas dan Tanggung Jawab Manusia ( DHDR ) ditulis untuk memperkuat pelaksanaan hak asasi manusia di bawah
naungan UNESCO dan kepentingan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak
Asasi Manusia dan diproklamasikan pada tahun 1998. Deklarasi ini juga dikenal sebagai Deklarasi Valencia.
         7) Deklarasi Universal tentang Keanekaragaman Budaya ( UNESCO,
2001).
Deklarasi Universal tentang Keanekaragaman Budaya adalah deklarasi yang diadopsi oleh Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada
sesi ke tiga puluh satu pada tanggal 2 November 2001.
Deklarasi ini didasari oleh 12 Artikel. Pasal 1 menyatakan bahwa Sebagai sumber pertukaran, inovasi dan kreativitas,
keanekaragaman budaya sama pentingnya dengan umat manusia seperti halnya keanekaragaman hayati untuk alam. Dalam hal ini, ia adalah warisan bersama dari kemanusiaan dan harus diakui dan
ditegaskan untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan.
Pasal 4 menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya mungkin
tidak melanggar HAM yang dijamin oleh hukum internasional. Pasal 5 menegaskan hak linguistik sebagai ha budaya sesuai dengan UU HAM Internasional. Pasal 6 menegaskan kebebasan berekspresi, pluralisme media, dan multibahasa. Dan pasal 12 mendefinisikan peran UNESCO.
      8) Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat ( PBB, 2007)
 Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat mengakui hak untuk pembangunan sebagai hak masyarakat adat. Deklarasi menyatakan dalam pembukaannya bahwa Majelis Umum "Prihatin bahwa masyarakat adat telah menderita dari ketidakadilan bersejarah
sebagai akibat, antara lain, kolonisasi dan perampasan tanah, wilayah dan sumber daya mereka, sehingga mencegah mereka dari melakukan, khususnya, hak mereka untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka sendiri. "
Pasal 23 menguraikan Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk melaksanakan" hak mereka untuk pembangunan ".
       9) Deklarasi PBB tentang orientasi seksual dan identitas gender ( PBB, 2008).
Pada April 2003, Brasil mengajukan resolusi yang melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual kepada Komisi PBB untuk
Hak Asasi Manusia . Namun, dalam debat berikutnya, Komisi memutuskan untuk menunda diskusi tentang resolusi tersebut hingga 2004. Pengajuan tersebut menekankan bahwa hak asasi manusia
berlaku untuk semua manusia tanpa memandang orientasi seksual. Pada tahun 2008, 34 negara anggota Organisasi Negara -
negara Amerika telah secara bulat menyetujui serangkaian resolusi yang menegaskan bahwa perlindungan hak asasi manusia meluas ke orientasi seksual dan identitas gender.

2. Konvensi
1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), 16 Desember 1966.
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai
berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
   a) Hak hidup;
   b) Hak Untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara
kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
   c) Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
   d) Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar
ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual.
   e) Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan
badan peradilan; dan
   f) Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku
surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia.
Indonesia turut mengaksesinya atau pengesahannya melalui UndangUndang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah beserta
aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi
Manusia.
2) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya (International Covenant on Ecconomic Social and Cultural Rights/ICESCR), 16 Desember 1966.
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya
mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah:
     a) Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
     b) Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar,
karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
     c) Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
 3) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICERD), 21 Desember 1965.
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.
4) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Woman / CEDAW), 18 Desember 1979.
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan
kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
5) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan martabat (Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT), 10 Desember 1984.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan
Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang
terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna:
    a. mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara lain
apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena
menjadi sasaran penyiksaan),
    b. menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya
diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak,
     c. menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai
akibat dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan,
    d. menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat didalamnya.
6) Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC), 20 November 1989. Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan menjamin hak bagi setiap
anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain.
Negara juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang
disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
7) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICMW, 18 Desember 1990). Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya adalah perjanjian multilateral PBB yang mengatur perlindungan pekerja migran dan
keluarga. Ditandatangani pada tanggal 18 Desember 1990, Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2003. Tujuan utama dari Konvensi ini adalah untuk menumbuhkan rasa hormat terhadap hak asasi para migran.
8) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (CPED, 20 Desember 2006).
Pada 20 Desember 2006, Majelis Umum PBB Mengesahkan Konvensi Internasional Bagi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini mulai berlaku (enter into force ) pada 23 Desember 2010, setelah Irak menjadi negara ke-20 yang
meratifikasi Konvensi ini.
Konvensi ini merupakan salah satu landasan hukum HAM internasional yang dapat memberikan perlindungan setiap orang dari
penghilangan paksa, Konvensi ini dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif Negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang
dari penghilangan pakksa, mengingat praktik penghilangan paksa juga
terjadi di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru, dan dalam kasus
– kasus pelanggaran HAM yang berat.
9) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD, 13 Desember 2006).
Pada tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106
mengenai Convention on the Rights of ersons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Resolusi
tersebut memuat hak – hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Konvensi ini memastikan agar penyandang disabilitas
mendapatkan penikmatan penuh atas semua Hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
b. Perlindungan HAM dalam Instrumen hukum Regional
1. European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR) berikut protokol-protokolnya dan
European Social Charter (ESC). Perlindungan HAM dalam sistem Eropa ada 2 yaitu ECHR dan
ESC. ECHR yang berfokus pada perlindungan hak sipil dan politik,
disetujui tahun 1950 dan berlaku tahun 1953. ECHR dan protokolnya
pada dasarnya melindungi sebagian besar hak yang tercantum dalam
DUHAM. Dalam pasal 1 ECHR negara-negara peserta diwajibkan untuk menjamin kepada setiap orang yang berada di dalam yurisdiksi
mereka, hak dan kebebasan yang dilindungi oleh ECHR tanpa diskriminasi.
Sedangkan ESC mencakup implementasi hak dan asas ekonomi dan sosial yang disetujui pada tahun 1961 dan mulai berlaku tahun
1965. Fungsi ESC adalah untuk melengkapi ECHR. ESC bertujuan untuk memastikan partisipasi negara dalam mewujudkan hak-hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.
2. Charter of the Organization of American States dan American Convention on Human Rights (ACHR) berikut Protokol-protokolnya.
ACHR dikenal juga sebagai Pakta San Jose dan Protokol San Salvador mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, merupakan bagian dari sistem HAM antar-Amerika. ACHR disetujui di San Jose, Kosta Rica tahun 1969 dan berlaku Juli 1978.
Protokolnya disetujui oleh negara-negara peserta pada 14 November 1988 dan dikukuhkan oleh Majelis Umum OAS.
ACHR mensyaratkan negara-negara peserta untuk menghormati hak asasi dan kebebasan, serta menjamin semua orang
yang berada di bawah yurisdiksinya akan dapat menggunakan hak dan kebebasan tersebut secara bebas dan penuh.
Protokolnya hanya menuntut agar setiap negara peserta mengambil langkah-langkah yang sesuai dalam rangka mencapai
secara progresif kepatuhan sepenuhnya terhadap hak-hak yang diakui
dalam protokol.
Dua (2) organ yang mengawasi implementasi dan penegakkan
hak-hak yang tercantum di dalamnya yaitu Inter-American Commission on Human Rights (komisi antar Amerika mengenai HAM) dan Inter-American Court of Human Rights (Pengadilan antarAmerika mengenai HAM).
3. African Charter on Human Rights and People’s Rights Piagam Afrika atau Piagam Banjul merupakan instrumen regional HAM yang berlaku yang berlaku di lingkungan negara-negara anggota Organization of African Unity /OAU (Organisasi Persatuan
Afrika). Piagam ini disetujui pada Juni 1981 di Nairobi dan diberlakukan pada 21 oktober 1986. Piagam Afrika tidak hanya melindungi hak sipil dan politik individu, tetapi juga berupaya menggalakkan hak ekonomi dan sosial, serta kategori hak-hak generasi ketiga yang kontroversial. Piagam ini juga mengatur kewajiban individu terhadap keluarga, masyarakat dan
negara. Piagam Afrika meupakan satu-satunya instrumen regional mengenai HAM yang mencantumkan hak generasi ketiga.Ada dua jenis mekanisme pengaduan antar negara dalam Piagam Afrika, selain mekanisme pengaduan antarnegara, Piagam
Afrika juga mengatur Pengaduan tertulis yang lain. 




Sumber:
1. Baehr, Peter. 1993. “Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia”, Edisi 
Kedua. Jakarta: UI Press.
2. Suntoro, Agus. 2018. “Perlunya Pendekatan HAM dalam Kebijakan Pembangunan 
Infrastruktur”. Diakses 
dari: https://nasional.kompas.com/read/2018/01/15/21090441/perlunya-pendekatan-hamdalam-kebijakan-pembangunan-infrastruktur?page=all, pada tanggal 2 April 2020. pukul 
18.34 WIB.
3. Wikipedia. “Hak untuk Berkembang”. Diakses dari: 
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Right_to_development
&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp tanggal 2 April 2020. pukul 18.48 WIB.
Wikipedia, Deklarasi Tugas dan Tanggung jawab Manusia. Diakses dari: 
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Declaration_of_Human
_Duties_and_Responsibilities&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp pada tanggal 2 April 2020. 
pukul 19.20 WIB.
4. Wikipedia. 'Deklarasi Universal Keanekaragaman Budaya' Diakses dari: 
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/UNESCO_Universal_
Declaration_on_Cultural_Diversity&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp tanggal 2 April 2020. 
pukul 18.54 WIB.
5. IGLHRC. 2003. "Resolusi tentang Orientasi Seksual dan Hak Asasi Manusia - Komisi 
Hak Asasi Manusia PBB - Berkas Kampanye IGLHRC". IGLHRC . Diperoleh 2 April 2020. 
pukul 15.02 WIB .
6. International Human Rights Standards for Law Enforcement. 1997. (Genewa: OHCHR).
7. Wikipedia. “Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja 
Migran dan Anggota Keluarganya”. Diakses 
dari:https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/International_Con
vention_on_the_Protection_of_the_Rights_of_All_Migrant_Workers_and_Members_of_Th
eir_Families&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp pada tanggal 2 April 2020. Pukul 16.01.WIB.
8. ELSAM (Referensi HAM). 2014. “Konvensi Hak Penyandang Disabilitas”. Diakses dari: 
https://referensi.elsam.or.id/2014/10/konvensi-hak-penyandang-disabilitas/ . pada tanggal 2 
April 2020. pukul 15.58 WIB.
9. OHCHR. Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional dan badan Pengawasannya

RESTORATIVE JUSTICE: Sejarah, Nilai-Nilai, Model dan Penerapan Restorative Justice di Indonesia


A. Sejarah dan Perkembangan Restorative Justice 

 

Restorative justice atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut. James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong (1997), menjelaskan bahwa keadilan restoratif pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash (1977) yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan keadilan distributif,yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah keadilan restoratif, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Pandangan keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban pelaku sebagai usaha dalam memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban umum.  

Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Pendekatan ini dipakai sebagai bingkai strategi penanganan perkara pidana. 

  

Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah membuat pelanggar bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan atas perbuatannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kualitas dirinya. Melibatkan para korban dan pihak-pihak yang terkait di dalam forum sehubungan dengan penyelesaian masalah. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.  

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional. 

Perkembangan konsep restorative justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Wales, New Zealand dan beberapa Negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah Negara yang sering membentuk perkumpulan dengan Negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restorative justice. Ada 4 (empat) kelompok praktik yang berkembang di Negara-negara yang menjadi pioner penerapan restorative justice yaitu Victim Offender Mediation (VOM), Family Group Conferencing (FGC), Circles, Restorative Board.  

  

Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang terkenal dengan Pancasila-nya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Pada Sila ke-

4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Artinya bangsa Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan yang “win-win solution” tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai. 

Dasar hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebelum lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, baik dalam peraturan perundangundangan internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional, antara lain adalah :  

1. Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak);  

2. The United Nations standard Minimum Rules Of The Administration Of Juvenille Justice (The Beijing Rules); 

3. The United Nations Rules Of The rotection of Juvenille Deprived Of Their Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kebebasannya); 

4. The United Nations Guidelines For The Oervention Of Juvenille Deliquency (The Riyadh Guidelines); 

5. International Convenant On Civil and Political Rights (Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik); 

6. Undang-Undang Dasar 1945; 

7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;  

8. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 

9. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 

10. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;  

11. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian republik Indonesia; 

12. Telegram Rahasian (TR) Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi bagi Kepolisian; 

13. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No : SE-002/j.a/1989 tentan Penuntutan Terhadap Anak 

 

B. Nilai-Nilai dalam Restorative Justice 

 

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.  

 

  

Susan Sharpe mengemukakan ada 5 (lima) prinsip dalam restorative justice yaitu : 

1. Restorative justice invites full participation and consensus. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibnnya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memcah persoalan tersebut. Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku akan diikutkan, apabila tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional; 

2. Restorative justice seeks to heat what is broken. Restorative Justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau pemulian korban atas tindak pidana yang menimpanya. Namun pelaku juga membutuhkan penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan mereka dan ketakutan. 

3. Restorative justice seeks full and direct accountability. Restorative Justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui kesalahannya serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain; 

4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided. Restorative Justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mengingtegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depannya yang lebih cerah. 

5. Restorative justice seeks to sterghten the community in order to prevent futher harms. Restorative Justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenanrnya bagi semua orang.   

 

Peradilan pidana anak dengan restorative justice bertujuan untuk :

1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan pelaku;  

2. Mengutamakan proses penyelesaian di luar peradilan; 

3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;  

4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;  

5. Mewujudkan kesejahteraan anak; 

6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 

7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; 

8. Menghindari stigma negatif;  

9. Meningkatkan keterampilan hidup anak,   

 

Keadilan Restorative adalah harmonisasi antar warga masyarakat bukan pada penghukuman. Lima unsur utama keadilan Restorative Justice adalah: 

1. Restorative justice adalah satu jenis keadilan yang merupakan konsep hukum proses pidana atau criminal justice sistem yang diakui secara universal dan yang diawali ini semakin banyak digunakan dalam berbagai kasus pidana di negara maju. 

2. Restorative justice memandang tindak pidana itu bukan kejahatan terhadap negara/publik melainkan kejahatan terhadap korban. Ini bisa berbentuk perseorangan atau beberapa orang/kelompok. 

3. Restorative justice berfokus pada penderitaan atau kerugian yang diderita oleh korban dan bukan pada pemidanaan terhadap pelaku. 

  

4. Restorative justice dapat berwujud dialog langsung atau tidak langsung dalam wujud mediasi ataupun rekonsiliasi ataupun pengadilan. 

5. Restorative justice tidak hanya dalam wujud rekonsiliasi yang bersifat transsisional seperti dalam pemaparan. 

 

 

 

 

 

C. Model-Model Restorative Justice 

 

Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan modal dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Maka dari itu pada dasarnya restorative justice dikenal juga dengan penyelesaian perkara melalui mediasi (mediasi penal). Hal ini dikarenakan tidak sedikit aparat penegak hukum yang belum menyadari pentingnya penyelesaian perkara dengan jalur damai atau mediasi penal dan belum memahami konsep dan pengimplementasian penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif oleh karena kedua konsep tersebut (konsep keadilan restoratif dan konsep mediasi penal) relatif baru dalam penegakan hukum pidana. 

 

D. Penerapan Restorative Justice di Indonesia 

 

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau UndangUndang No. 8 tahun 1981. Dikatakan demikian karena UndangUndang No. 8 tahun 

1981 atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan atau kewenangankewenangan yang diberikan kepada negara dalam menegakkan hukum pidana yakni kepolisian, kejaksaan, hakim dan lembaga pemasyarakatan. Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan istilah law enforcement system karena di dalamnya mengandung suatu pemahaman, bahwa pada dasarnya apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu merupakan usaha konkrituntuk menegakkan aturan-aturan hukum abstrak.  

Terkait dengan integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu, Muladi dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Sistem Peradilan 

Pidana” menegaskan bahwa makna sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system merupakan suatu sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam beberapa hal berikut ini:20 1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum; 2) Sinkronisasi substantial (substansial syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan 3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keselarasan dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 

Restorative justice dapat dirumuskan sebagai sebuah pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Selain itu, restorative justice dapat dijadikan suatu kerangka berpikir yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. 

Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Term keadilan restoratif dalam UU ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 sebagai berikut: ―Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Konsep keadilan 

  

restoratif yang disodorkan dalam UU ini secara garis besar sejalan dengan kerangka teoretik sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan tentang kewajiban mengupayakan diversi dalam tindak pidana anak (Pasal 5 ayat (3)) dan ketentuan yang menyatakan bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir (Pasal 81 ayat (5)). 

Namun demikian, sistem peradilan pidana anak dalam UU ini nampak belum sepenuhnya merefleksikan sistem peradilan restoratif yang bersifat komprehensif. Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam UU ini cenderung memfokuskan pada program diversi, yakni ―pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana‖ (Pasal 1 Angka 7). 

Dengan kata lain, UU ini masih memahami keadilan restoratif sebagai suatu usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Padahal diversi itu sendiri hanyalah salah satu program dalam sistem peradilan restoratif. Menurut Zehr, pendekatan keadilan restoratif dapat diwujudkan ke dalam tiga kategori program restoratif, yakni program alternatif atau diversi (alternative or diversionary programs), program pemulihan atau terapi (Healing or therapeutic programs) dan program transisional (transitional programs). Program diversi bertujuan untuk mengalihkan kasus atau memberikan alternatif dari beberapa bagian proses peradilan pidana atau hukuman. Jaksa dapat membuat rujukan, menunda penuntutan dan akhirnya menghentikannya jika kasus tersebut dapat diselesaikan secara memuaskan. Demikian pula seorang hakim dapat merujuk kasus ke sebuah pertemuan restoratif untuk memilah-milah elemen-elemen hukuman, seperti restitusi. Di sisi lain, program pemulihan atau terapi biasanya dikembangkan untuk jenis kejahatan dan kekerasan yang paling parah, seperti pemerkosaan dan pembunuhan. Pelaku dalam konteks ini biasanya berada di dalam penjara. Program ini pada umumnya dilakukan sebagai suatu upaya untuk merehabilitasi pelaku. Sedangkan program transisional biasanya berkaitan dengan masa transisi pelaku setelah keluar dari penjara. Program ini dirancang untuk memulihkan luka korban dan menstimulus pertanggungjawaban pelaku serta membantu baik korban maupun pelaku untuk kembali ke masyarakat.  

Dalam konteks ini, pendekatan keadilan restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012 cenderung menekankan pada kejahatan ringan dan memfokuskan pada diversi sebagai salah satu bentuk program keadilan restoratif. Pemahaman semacam ini mengabaikan fakta bahwa keadilan restoratif sesungguhnya merupakan suatu prinsip dan pedoman yang harus dipenuhi dalam seluruh rangkaian proses peradilan pidana anak—demikian pula peradilan pidana secara umum—mulai dari proses penyidikan, penuntutan, penghukuman, penahanan dan pasca tahanan sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak yang bersifat parsial ini nampaknya disebabkan oleh miskonsepsi umum dalam memahami keadilan restoratif, yakni menyepadankan keadilan restoratif dengan mediasi dan menganggapnya sebagai pengganti dari sistem peradilan pidana. Kendati demikian, terlepas dari pelbagai kekurangan tersebut, UU 

No. 11 Tahun 2012 telah menyodorkan terobosan baru dan diharapkan dapat menjadi 

“gong pembuka” dalam agenda reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restoratif. 


Referensi: 

1. Kompasiana, “Restorative Justice,”https://www.kompasiana.com/amelindanurrahmah/55101738813311ae33bc6294/restorative-justice, diakses 16 November 2020.

2. Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 181.

3. Jecky Tengens, “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia,” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistempidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-?page=2, diakses 16 November 2020.

4. Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 74.

5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasionale Departemen Hukum dan HAM, 2009)

6. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika Serikat, 2004, hlm.901.



 
 
 

TEORI HUKUM FEMINIS

Latar belakang lahirnya pemikiran hukum feminis ini, adalah: 1. sebagai akibat dari adanya gerakan perempuan tiga dekade yang lalu yang cuku...