Sabtu, 10 Agustus 2024

TEORI HUKUM FEMINIS

Latar belakang lahirnya pemikiran hukum feminis ini, adalah:
1. sebagai akibat dari adanya gerakan perempuan tiga dekade yang lalu yang cukup besar dampaknya terhadap terjadinya dekonstruksi ilmu pengetahuan di berbagai cabang ilmu sosial.
Banyak teori dan metodologi dibongkar, karena adanya kritik feminis terhadap ilmu pengetahuan yang bias laki-laki. Kritik tersebut menghasilkan tulisan di berbagai lapangan studi yang kemudian mempengaruhi pemikiran para sarjana hukum.
2. Banyaknya perempuan yang memasuki sekolah hukum di Amerika menjelang tahun 1960-an dan membukakan mata para mahasiswa hukum perempuan tentang ketidakadilan teks hukum dalam memosisikan perempuan.
3. Sebagai akibat dari reaksi para perempuan yang berperkara di Pengadilan dan merek mengadakan tuntutan yang khas, sebagai akibat dari pemikiran Critical Legal Studies atau Teori Hukum Kritik. Karena latar belakang tersebut para sarjana hukum feminis mulai melancarkan kritik terhadap hukum melalui pandangan dan argumentasi yang didasarkan pada pengalaman perempuan.

B. Aliran Teori Hukum Feminis
Beragam pemikiran yang dapat digolongkan sebagai feminist jurisptudence, meliputi:
1. The Liberal atau Equal-Opportunity atau Formal Equality atau symmetricist Feminism
2. The Assimilationist Feminism
3. The Bivalent atau Difference atau Special Treatment Feminism
4. The Incorporationist Feminism
5. The Different-Voice atau Cultural atau Relational Feminism
6. The Dominance atau Radival Feminism
7. The Postmodernist Feminist

Minggu, 16 Juni 2024

PENELITIAN HUKUM

 A.  Pengertian Penelitian Hukum

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Penelitian hukum sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gelaja tersebut.


B. Penelitian dan Ilmu-ilmu Hukum

Berdasarkan penjelasan di atas, dikenal pula adanya disiplin hukum. Disiplin hukum tersebut antara lain:

1. Ilmu-ilmu hukum yang mencakup normwissenschaft atau sollenwissenschaft dan taatsachenwissenschaft atau seinwissenschaft. Yang pertama mencakup ilmu kaedah dan ilmu pengertian (dogmatik hukum), sedangkan yang kedua mencakup sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum (ilmu kenyataan hukum).

2. Politik Hukum

3. Filsafat Hukum


Kadang-kadang dipergunakan juga sistematika lain dari disiplim hukum yang di dasarkan pada pohon ilmu, antara lain:

1. Disiplin dasar: 

  a. Filsafat Hukum

  b. Sosiologi dan antropologi hukum

  c. Psikologi hukum

  d. Sejarah hukum

  e. Perbandingan hukum

2. Disiplin pokok:

  a. Ilmu Kaedah

  b. Ilmu Pengertian

3. Disiplin cabang:

  a. Ilmu Hukum tata negara

  b. Ilmu hukum administrasi negara

  c. Ilmu hukun pribadi

  d. Ilmu hukum harta kekayaan

  e. Ilmu hukum keluarga

  f. Ilmu hukum waris

  g. Ilmu hukum pidana

PERZINAAN OLEH ORANG-ORANG YANG TERIKAT PERKAWINAN (ADULTERY) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

 Adultery, menurut Sue Titus Reid adalah perbuatan seksual yang diyakini sebagai perbuatan immoral yang merupakan yurisdiksi dari banyak hukum pidana. Beberapa yurisdiksi membatasi adultery sebagai hububgan seksual yang dilakukan antara dua orang yang apabila salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain. Namun, beberapa yurisdiksi lain menentukan bahwa hanya bagi pasangam yang keduanya sama-sama terikat perkawinan dengan orang lain. 


Secara sekilas, jika pemikiran atau pendapat tersebut ditinjau dari Hukum Islam adalah bertentangan dengan tujuan Hukum Islam, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Hal tersebut dikarenakan dalam menentukan seseorang sebagai pelaku tindak pidana, mesti melihat dari jenis delik, syarat-syarat perbuatan sebagai delik, dan lain sebagainya menurut KUHP adalah tidak sama atau tidak sesuai sengan Hukum Islam.


KUHP Pasal 284 menentukan larangan adultery dalam ayat (1):

"Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:

1. a. Seorang pria yang telah kawin, yang melakukan mukah (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya;

    b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah;

2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

    b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yabg turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. 


Bila dihubungkan dengan Hukum Islam, zina bukan hanya dilakukan oleh salah satu atau keduanya yang sudah menikah, namun hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah juga termasuk zina. Hukumannya berupa cambuk seratus kali.

Sedangkan zina yang dilakukan dalam ikatan perkawinan hukumannya adalah rajam.

Dalam Hukum Islam, delik zina adalah delik umum atau delik biasa bukan merupakan delik aduan. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 284 ayat (2) KUHP. yang menentukan bahwa : "Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas Pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW dalam tengggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga".

Sedangkan dalam Hukum Islam, siapa saja yang menyaksikkan adanya perbuatan zina, asalkan ia atau mereka dapat menghadirkan empat orang saksi berkewajiban melaporkan perbuatan zina tersebut.




Sumber:

Perzinaan (dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam). Neng Djubaedah. Kencana 2010.

Jumat, 30 Desember 2022

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL DAN REGIONAL PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas untuk Memenuhi Tugas Hukum HAM


Mata Kuliah:
Hukum Hak Asasi Manusia
Dosen:
1. Dr. Walter Wanggur, S.H., M.H.
2. Meliyani Sidiqah, S.H., M.H.
SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG 















INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL DAN INSTRUMEN HUKUM
REGIONAL PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
a. Instrumen Hukum Internasional Perlindungan HAM
Instrumen hukum internasional adalah perjanjian dan teks internasional
lainnya yang berfungsi sebagai sumber hukum untuk hukum hak asasi manusia
internasional dan perlindungan hak asasi manusia secara umum.
Penegakan HAM secara internasional dapat didasarkan pada instrumen
HAM internasional yang terdiri atas berbagai jenis antara lain:
1. Deklarasi
    1) Declaration by United Nation (Deklarasi           PBB)
Deklarasi PBB diterbitkan tanggal 8 januari 1975. pernyataan
tentang HAM dalam deklarasi ini tercermin dalam penggalan kalimat yang berbunyi: “bahwa kemenangan adalah penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independence, dan kebebasan beragama serta untuk mempertahankan Hak Asasi Manusia dan keadilan”.
      2) Deklarasi Universal Hak Asasi       Manusia (DUHAM)DUHAM merupakan langkah besar yang diambil oleh masyarakat
internasional pada tahun 1948. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut
secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas kebebasan dan
keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan
penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak
bersalah sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut.
Dalam instrumen internasional terdapat dua kovenan internasional yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
       3) Deklarasi tentang Hak-hak Penyandang Cacat (PBB, 1975)
      Deklarasi tentang Hak-Hak Penyandang    Cacat adalah deklarasi Majelis Umum          Perserikatan Bangsa-Bangsa , dibuat pada
tanggal 9 Desember 1975. Ini adalah resolusi ke 3447 yang dibuat oleh Majelis.
       4) Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan ( PBB , 1986).
Hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dicabut (an inaliable right) dengan dasar setiap individi dan seluruh manusia memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Hak untuk pembangunan pertama kali diakui pada tahun 1981 dalam Pasal 22 Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat sebagai hak individu dan kolektif yang definitif. Pasal 22 (122) menyatakan bahwa: "Semua orang akan memiliki hak untuk pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka dengan memperhatikan kebebasan dan identitas mereka dan dalam kenikmatan
yang sama atas warisan bersama umat manusia."
Hak untuk pembangunan kemudian diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1986 dalam "Deklarasi
tentang Hak atas Pembangunan," yang diadopsi oleh resolusi Majelis Umum PBB 41/128. Hak atas pembangunan adalah hak
kelompok orang-orang yang bertentangan dengan hak individu , dan ditegaskan kembali oleh Deklarasi Wina dan Program Aksi tahun 1993.
           5) Deklarasi Wina dan Program Aksi ( Konferensi Dunia Hak Asasi
Manusia , 1993).
Deklarasi Wina dan Program Aksi ditetapkan sebagai hak universal dan tidak dapat dicabut dan merupakan bagian integral dari manusia fundamental. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi
tentang Hak atas Pembangunan, manusia adalah subjek utama pembangunan. Sementara pembangunan memfasilitasi penikmatan semua hak asasi manusia, kurangnya pembangunan mungkin tidak
dapat digunakan untuk membenarkan penjumlahan hak asasi manusia yang diakui secara internasional.
         6) Deklarasi Tugas dan Tanggung Jawab Manusia ( UNESCO , 1998).
Deklarasi Tugas dan Tanggung Jawab Manusia ( DHDR ) ditulis untuk memperkuat pelaksanaan hak asasi manusia di bawah
naungan UNESCO dan kepentingan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak
Asasi Manusia dan diproklamasikan pada tahun 1998. Deklarasi ini juga dikenal sebagai Deklarasi Valencia.
         7) Deklarasi Universal tentang Keanekaragaman Budaya ( UNESCO,
2001).
Deklarasi Universal tentang Keanekaragaman Budaya adalah deklarasi yang diadopsi oleh Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada
sesi ke tiga puluh satu pada tanggal 2 November 2001.
Deklarasi ini didasari oleh 12 Artikel. Pasal 1 menyatakan bahwa Sebagai sumber pertukaran, inovasi dan kreativitas,
keanekaragaman budaya sama pentingnya dengan umat manusia seperti halnya keanekaragaman hayati untuk alam. Dalam hal ini, ia adalah warisan bersama dari kemanusiaan dan harus diakui dan
ditegaskan untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan.
Pasal 4 menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya mungkin
tidak melanggar HAM yang dijamin oleh hukum internasional. Pasal 5 menegaskan hak linguistik sebagai ha budaya sesuai dengan UU HAM Internasional. Pasal 6 menegaskan kebebasan berekspresi, pluralisme media, dan multibahasa. Dan pasal 12 mendefinisikan peran UNESCO.
      8) Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat ( PBB, 2007)
 Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat mengakui hak untuk pembangunan sebagai hak masyarakat adat. Deklarasi menyatakan dalam pembukaannya bahwa Majelis Umum "Prihatin bahwa masyarakat adat telah menderita dari ketidakadilan bersejarah
sebagai akibat, antara lain, kolonisasi dan perampasan tanah, wilayah dan sumber daya mereka, sehingga mencegah mereka dari melakukan, khususnya, hak mereka untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka sendiri. "
Pasal 23 menguraikan Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk melaksanakan" hak mereka untuk pembangunan ".
       9) Deklarasi PBB tentang orientasi seksual dan identitas gender ( PBB, 2008).
Pada April 2003, Brasil mengajukan resolusi yang melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual kepada Komisi PBB untuk
Hak Asasi Manusia . Namun, dalam debat berikutnya, Komisi memutuskan untuk menunda diskusi tentang resolusi tersebut hingga 2004. Pengajuan tersebut menekankan bahwa hak asasi manusia
berlaku untuk semua manusia tanpa memandang orientasi seksual. Pada tahun 2008, 34 negara anggota Organisasi Negara -
negara Amerika telah secara bulat menyetujui serangkaian resolusi yang menegaskan bahwa perlindungan hak asasi manusia meluas ke orientasi seksual dan identitas gender.

2. Konvensi
1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), 16 Desember 1966.
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai
berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
   a) Hak hidup;
   b) Hak Untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara
kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
   c) Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
   d) Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar
ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual.
   e) Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan
badan peradilan; dan
   f) Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku
surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia.
Indonesia turut mengaksesinya atau pengesahannya melalui UndangUndang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah beserta
aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi
Manusia.
2) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya (International Covenant on Ecconomic Social and Cultural Rights/ICESCR), 16 Desember 1966.
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya
mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah:
     a) Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
     b) Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar,
karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
     c) Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
 3) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICERD), 21 Desember 1965.
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.
4) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Woman / CEDAW), 18 Desember 1979.
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan
kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
5) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan martabat (Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT), 10 Desember 1984.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan
Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang
terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna:
    a. mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara lain
apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena
menjadi sasaran penyiksaan),
    b. menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya
diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak,
     c. menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai
akibat dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan,
    d. menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat didalamnya.
6) Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC), 20 November 1989. Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan menjamin hak bagi setiap
anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain.
Negara juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang
disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
7) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICMW, 18 Desember 1990). Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya adalah perjanjian multilateral PBB yang mengatur perlindungan pekerja migran dan
keluarga. Ditandatangani pada tanggal 18 Desember 1990, Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2003. Tujuan utama dari Konvensi ini adalah untuk menumbuhkan rasa hormat terhadap hak asasi para migran.
8) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (CPED, 20 Desember 2006).
Pada 20 Desember 2006, Majelis Umum PBB Mengesahkan Konvensi Internasional Bagi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini mulai berlaku (enter into force ) pada 23 Desember 2010, setelah Irak menjadi negara ke-20 yang
meratifikasi Konvensi ini.
Konvensi ini merupakan salah satu landasan hukum HAM internasional yang dapat memberikan perlindungan setiap orang dari
penghilangan paksa, Konvensi ini dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif Negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang
dari penghilangan pakksa, mengingat praktik penghilangan paksa juga
terjadi di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru, dan dalam kasus
– kasus pelanggaran HAM yang berat.
9) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD, 13 Desember 2006).
Pada tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106
mengenai Convention on the Rights of ersons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Resolusi
tersebut memuat hak – hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Konvensi ini memastikan agar penyandang disabilitas
mendapatkan penikmatan penuh atas semua Hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
b. Perlindungan HAM dalam Instrumen hukum Regional
1. European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR) berikut protokol-protokolnya dan
European Social Charter (ESC). Perlindungan HAM dalam sistem Eropa ada 2 yaitu ECHR dan
ESC. ECHR yang berfokus pada perlindungan hak sipil dan politik,
disetujui tahun 1950 dan berlaku tahun 1953. ECHR dan protokolnya
pada dasarnya melindungi sebagian besar hak yang tercantum dalam
DUHAM. Dalam pasal 1 ECHR negara-negara peserta diwajibkan untuk menjamin kepada setiap orang yang berada di dalam yurisdiksi
mereka, hak dan kebebasan yang dilindungi oleh ECHR tanpa diskriminasi.
Sedangkan ESC mencakup implementasi hak dan asas ekonomi dan sosial yang disetujui pada tahun 1961 dan mulai berlaku tahun
1965. Fungsi ESC adalah untuk melengkapi ECHR. ESC bertujuan untuk memastikan partisipasi negara dalam mewujudkan hak-hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.
2. Charter of the Organization of American States dan American Convention on Human Rights (ACHR) berikut Protokol-protokolnya.
ACHR dikenal juga sebagai Pakta San Jose dan Protokol San Salvador mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, merupakan bagian dari sistem HAM antar-Amerika. ACHR disetujui di San Jose, Kosta Rica tahun 1969 dan berlaku Juli 1978.
Protokolnya disetujui oleh negara-negara peserta pada 14 November 1988 dan dikukuhkan oleh Majelis Umum OAS.
ACHR mensyaratkan negara-negara peserta untuk menghormati hak asasi dan kebebasan, serta menjamin semua orang
yang berada di bawah yurisdiksinya akan dapat menggunakan hak dan kebebasan tersebut secara bebas dan penuh.
Protokolnya hanya menuntut agar setiap negara peserta mengambil langkah-langkah yang sesuai dalam rangka mencapai
secara progresif kepatuhan sepenuhnya terhadap hak-hak yang diakui
dalam protokol.
Dua (2) organ yang mengawasi implementasi dan penegakkan
hak-hak yang tercantum di dalamnya yaitu Inter-American Commission on Human Rights (komisi antar Amerika mengenai HAM) dan Inter-American Court of Human Rights (Pengadilan antarAmerika mengenai HAM).
3. African Charter on Human Rights and People’s Rights Piagam Afrika atau Piagam Banjul merupakan instrumen regional HAM yang berlaku yang berlaku di lingkungan negara-negara anggota Organization of African Unity /OAU (Organisasi Persatuan
Afrika). Piagam ini disetujui pada Juni 1981 di Nairobi dan diberlakukan pada 21 oktober 1986. Piagam Afrika tidak hanya melindungi hak sipil dan politik individu, tetapi juga berupaya menggalakkan hak ekonomi dan sosial, serta kategori hak-hak generasi ketiga yang kontroversial. Piagam ini juga mengatur kewajiban individu terhadap keluarga, masyarakat dan
negara. Piagam Afrika meupakan satu-satunya instrumen regional mengenai HAM yang mencantumkan hak generasi ketiga.Ada dua jenis mekanisme pengaduan antar negara dalam Piagam Afrika, selain mekanisme pengaduan antarnegara, Piagam
Afrika juga mengatur Pengaduan tertulis yang lain. 




Sumber:
1. Baehr, Peter. 1993. “Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia”, Edisi 
Kedua. Jakarta: UI Press.
2. Suntoro, Agus. 2018. “Perlunya Pendekatan HAM dalam Kebijakan Pembangunan 
Infrastruktur”. Diakses 
dari: https://nasional.kompas.com/read/2018/01/15/21090441/perlunya-pendekatan-hamdalam-kebijakan-pembangunan-infrastruktur?page=all, pada tanggal 2 April 2020. pukul 
18.34 WIB.
3. Wikipedia. “Hak untuk Berkembang”. Diakses dari: 
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Right_to_development
&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp tanggal 2 April 2020. pukul 18.48 WIB.
Wikipedia, Deklarasi Tugas dan Tanggung jawab Manusia. Diakses dari: 
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Declaration_of_Human
_Duties_and_Responsibilities&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp pada tanggal 2 April 2020. 
pukul 19.20 WIB.
4. Wikipedia. 'Deklarasi Universal Keanekaragaman Budaya' Diakses dari: 
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/UNESCO_Universal_
Declaration_on_Cultural_Diversity&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp tanggal 2 April 2020. 
pukul 18.54 WIB.
5. IGLHRC. 2003. "Resolusi tentang Orientasi Seksual dan Hak Asasi Manusia - Komisi 
Hak Asasi Manusia PBB - Berkas Kampanye IGLHRC". IGLHRC . Diperoleh 2 April 2020. 
pukul 15.02 WIB .
6. International Human Rights Standards for Law Enforcement. 1997. (Genewa: OHCHR).
7. Wikipedia. “Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja 
Migran dan Anggota Keluarganya”. Diakses 
dari:https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/International_Con
vention_on_the_Protection_of_the_Rights_of_All_Migrant_Workers_and_Members_of_Th
eir_Families&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp pada tanggal 2 April 2020. Pukul 16.01.WIB.
8. ELSAM (Referensi HAM). 2014. “Konvensi Hak Penyandang Disabilitas”. Diakses dari: 
https://referensi.elsam.or.id/2014/10/konvensi-hak-penyandang-disabilitas/ . pada tanggal 2 
April 2020. pukul 15.58 WIB.
9. OHCHR. Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional dan badan Pengawasannya

RESTORATIVE JUSTICE: Sejarah, Nilai-Nilai, Model dan Penerapan Restorative Justice di Indonesia


A. Sejarah dan Perkembangan Restorative Justice 

 

Restorative justice atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut. James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong (1997), menjelaskan bahwa keadilan restoratif pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash (1977) yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan keadilan distributif,yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah keadilan restoratif, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Pandangan keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban pelaku sebagai usaha dalam memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban umum.  

Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Pendekatan ini dipakai sebagai bingkai strategi penanganan perkara pidana. 

  

Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah membuat pelanggar bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan atas perbuatannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kualitas dirinya. Melibatkan para korban dan pihak-pihak yang terkait di dalam forum sehubungan dengan penyelesaian masalah. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.  

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional. 

Perkembangan konsep restorative justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Wales, New Zealand dan beberapa Negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah Negara yang sering membentuk perkumpulan dengan Negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restorative justice. Ada 4 (empat) kelompok praktik yang berkembang di Negara-negara yang menjadi pioner penerapan restorative justice yaitu Victim Offender Mediation (VOM), Family Group Conferencing (FGC), Circles, Restorative Board.  

  

Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang terkenal dengan Pancasila-nya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Pada Sila ke-

4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Artinya bangsa Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan yang “win-win solution” tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai. 

Dasar hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebelum lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, baik dalam peraturan perundangundangan internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional, antara lain adalah :  

1. Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak);  

2. The United Nations standard Minimum Rules Of The Administration Of Juvenille Justice (The Beijing Rules); 

3. The United Nations Rules Of The rotection of Juvenille Deprived Of Their Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kebebasannya); 

4. The United Nations Guidelines For The Oervention Of Juvenille Deliquency (The Riyadh Guidelines); 

5. International Convenant On Civil and Political Rights (Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik); 

6. Undang-Undang Dasar 1945; 

7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;  

8. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 

9. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 

10. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;  

11. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian republik Indonesia; 

12. Telegram Rahasian (TR) Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi bagi Kepolisian; 

13. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No : SE-002/j.a/1989 tentan Penuntutan Terhadap Anak 

 

B. Nilai-Nilai dalam Restorative Justice 

 

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.  

 

  

Susan Sharpe mengemukakan ada 5 (lima) prinsip dalam restorative justice yaitu : 

1. Restorative justice invites full participation and consensus. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibnnya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memcah persoalan tersebut. Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku akan diikutkan, apabila tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional; 

2. Restorative justice seeks to heat what is broken. Restorative Justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau pemulian korban atas tindak pidana yang menimpanya. Namun pelaku juga membutuhkan penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan mereka dan ketakutan. 

3. Restorative justice seeks full and direct accountability. Restorative Justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui kesalahannya serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain; 

4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided. Restorative Justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mengingtegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depannya yang lebih cerah. 

5. Restorative justice seeks to sterghten the community in order to prevent futher harms. Restorative Justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenanrnya bagi semua orang.   

 

Peradilan pidana anak dengan restorative justice bertujuan untuk :

1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan pelaku;  

2. Mengutamakan proses penyelesaian di luar peradilan; 

3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;  

4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;  

5. Mewujudkan kesejahteraan anak; 

6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 

7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; 

8. Menghindari stigma negatif;  

9. Meningkatkan keterampilan hidup anak,   

 

Keadilan Restorative adalah harmonisasi antar warga masyarakat bukan pada penghukuman. Lima unsur utama keadilan Restorative Justice adalah: 

1. Restorative justice adalah satu jenis keadilan yang merupakan konsep hukum proses pidana atau criminal justice sistem yang diakui secara universal dan yang diawali ini semakin banyak digunakan dalam berbagai kasus pidana di negara maju. 

2. Restorative justice memandang tindak pidana itu bukan kejahatan terhadap negara/publik melainkan kejahatan terhadap korban. Ini bisa berbentuk perseorangan atau beberapa orang/kelompok. 

3. Restorative justice berfokus pada penderitaan atau kerugian yang diderita oleh korban dan bukan pada pemidanaan terhadap pelaku. 

  

4. Restorative justice dapat berwujud dialog langsung atau tidak langsung dalam wujud mediasi ataupun rekonsiliasi ataupun pengadilan. 

5. Restorative justice tidak hanya dalam wujud rekonsiliasi yang bersifat transsisional seperti dalam pemaparan. 

 

 

 

 

 

C. Model-Model Restorative Justice 

 

Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan modal dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Maka dari itu pada dasarnya restorative justice dikenal juga dengan penyelesaian perkara melalui mediasi (mediasi penal). Hal ini dikarenakan tidak sedikit aparat penegak hukum yang belum menyadari pentingnya penyelesaian perkara dengan jalur damai atau mediasi penal dan belum memahami konsep dan pengimplementasian penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif oleh karena kedua konsep tersebut (konsep keadilan restoratif dan konsep mediasi penal) relatif baru dalam penegakan hukum pidana. 

 

D. Penerapan Restorative Justice di Indonesia 

 

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau UndangUndang No. 8 tahun 1981. Dikatakan demikian karena UndangUndang No. 8 tahun 

1981 atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan atau kewenangankewenangan yang diberikan kepada negara dalam menegakkan hukum pidana yakni kepolisian, kejaksaan, hakim dan lembaga pemasyarakatan. Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan istilah law enforcement system karena di dalamnya mengandung suatu pemahaman, bahwa pada dasarnya apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu merupakan usaha konkrituntuk menegakkan aturan-aturan hukum abstrak.  

Terkait dengan integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu, Muladi dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Sistem Peradilan 

Pidana” menegaskan bahwa makna sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system merupakan suatu sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam beberapa hal berikut ini:20 1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum; 2) Sinkronisasi substantial (substansial syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan 3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keselarasan dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 

Restorative justice dapat dirumuskan sebagai sebuah pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Selain itu, restorative justice dapat dijadikan suatu kerangka berpikir yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. 

Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Term keadilan restoratif dalam UU ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 sebagai berikut: ―Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Konsep keadilan 

  

restoratif yang disodorkan dalam UU ini secara garis besar sejalan dengan kerangka teoretik sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan tentang kewajiban mengupayakan diversi dalam tindak pidana anak (Pasal 5 ayat (3)) dan ketentuan yang menyatakan bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir (Pasal 81 ayat (5)). 

Namun demikian, sistem peradilan pidana anak dalam UU ini nampak belum sepenuhnya merefleksikan sistem peradilan restoratif yang bersifat komprehensif. Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam UU ini cenderung memfokuskan pada program diversi, yakni ―pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana‖ (Pasal 1 Angka 7). 

Dengan kata lain, UU ini masih memahami keadilan restoratif sebagai suatu usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Padahal diversi itu sendiri hanyalah salah satu program dalam sistem peradilan restoratif. Menurut Zehr, pendekatan keadilan restoratif dapat diwujudkan ke dalam tiga kategori program restoratif, yakni program alternatif atau diversi (alternative or diversionary programs), program pemulihan atau terapi (Healing or therapeutic programs) dan program transisional (transitional programs). Program diversi bertujuan untuk mengalihkan kasus atau memberikan alternatif dari beberapa bagian proses peradilan pidana atau hukuman. Jaksa dapat membuat rujukan, menunda penuntutan dan akhirnya menghentikannya jika kasus tersebut dapat diselesaikan secara memuaskan. Demikian pula seorang hakim dapat merujuk kasus ke sebuah pertemuan restoratif untuk memilah-milah elemen-elemen hukuman, seperti restitusi. Di sisi lain, program pemulihan atau terapi biasanya dikembangkan untuk jenis kejahatan dan kekerasan yang paling parah, seperti pemerkosaan dan pembunuhan. Pelaku dalam konteks ini biasanya berada di dalam penjara. Program ini pada umumnya dilakukan sebagai suatu upaya untuk merehabilitasi pelaku. Sedangkan program transisional biasanya berkaitan dengan masa transisi pelaku setelah keluar dari penjara. Program ini dirancang untuk memulihkan luka korban dan menstimulus pertanggungjawaban pelaku serta membantu baik korban maupun pelaku untuk kembali ke masyarakat.  

Dalam konteks ini, pendekatan keadilan restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012 cenderung menekankan pada kejahatan ringan dan memfokuskan pada diversi sebagai salah satu bentuk program keadilan restoratif. Pemahaman semacam ini mengabaikan fakta bahwa keadilan restoratif sesungguhnya merupakan suatu prinsip dan pedoman yang harus dipenuhi dalam seluruh rangkaian proses peradilan pidana anak—demikian pula peradilan pidana secara umum—mulai dari proses penyidikan, penuntutan, penghukuman, penahanan dan pasca tahanan sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak yang bersifat parsial ini nampaknya disebabkan oleh miskonsepsi umum dalam memahami keadilan restoratif, yakni menyepadankan keadilan restoratif dengan mediasi dan menganggapnya sebagai pengganti dari sistem peradilan pidana. Kendati demikian, terlepas dari pelbagai kekurangan tersebut, UU 

No. 11 Tahun 2012 telah menyodorkan terobosan baru dan diharapkan dapat menjadi 

“gong pembuka” dalam agenda reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restoratif. 


Referensi: 

1. Kompasiana, “Restorative Justice,”https://www.kompasiana.com/amelindanurrahmah/55101738813311ae33bc6294/restorative-justice, diakses 16 November 2020.

2. Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 181.

3. Jecky Tengens, “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia,” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistempidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-?page=2, diakses 16 November 2020.

4. Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 74.

5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasionale Departemen Hukum dan HAM, 2009)

6. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika Serikat, 2004, hlm.901.



 
 
 

Senin, 29 Maret 2021

Penerapan Fair Trial dan Faktor-Faktor yang Menghambat Proses Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia


Mata kuliah: Sistem Peradilan Pidana 

Dosen: Dr. Mas Putra Zenno Januarsyah, S. H., M. H.

Sekolah Tinggi Hukum Bandung


 BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

 

Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Hukum Pidana menduduki posisi sentral dalam Sistem Peradilan Pidana yaitu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hukum pidana menjadi penting perannya, sekarang dan di masa mendatang bagi masyarakat sebagai kontrol sosial untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan. Proses hukum yang adil dan Sistem Peradilan Pidana tidak mungkin dapat dipisahkan, karena tidak mungkin orang dapat membicarakan proses hukum yang adil tanpa menyinggung masalah Sistem Peradilan Pidana. Proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa.

Pasal 5 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, oleh karena itu berhak memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaan di depan hukum. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak..

Fair trial atau Peradilan yang adil adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator dari terbangunnya masyarakat dan sistem hukum yang adil. Fair trial adalah norma dasar, prinsip dalam hukum yang memastikan terlaksananya administrasi keadilan yang layak (proper administration of justice). Fair trial juga berbentuk hak bagi para terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang adil. Konvenan hak sipil dan politik sudah menetapkan hak-hak fair trial dalam pasal 9-15. Hak-hak itu adalah hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; hak dan kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan; hak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum; hak untuk diberitahukan secepatnya dengan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan; hak atas waktu yang cukup dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan; hak untuk diadili tanpa penundaan; hak untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya; hak mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; hak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.

Di Indonesia sendiri penerapan Fair Trial menjadi persoalan serius yang harus dibenahi. Sejumlah kasus telah mewarnai ketidakadilan dan ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam hal penanganan perkara.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan penegakan peradilan yang adil atau Fair Trial dengan judul “PENERAPAN DAN FAKTOR PENGHAMBAT FAIR TRIAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”

 

 

B. Identifikasi Masalah

 

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan yaitu:

1. Bagaimana Penerapan fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

2. Apa faktro-faktor yang menghambat proses fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

BAB II

PERADILAN YANG ADIL (FAIR TRIAL)

 

A. Pengertian Peradilan yang Adil (Fair Trial)

Peradilan yang adil atau Fair Trial adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator dari terbangunnya masyarakat dan sistem hukum yang adil. FaTanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, orang – orang yang tak bersalah akan banyak memasuki sistem peradilan pidana dan kemungkinan besar akan masuk dalam penjara. Tanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta sistem peradilan akan runtuh.

Fair Trial merupakan hak asasi untuk siapapun yang sedang diadili untuk memperoleh perlakukan yang jujur dan adil sepanjang proses peradilan. Prinsip dan prosedur Fair Trial, hak atas peradilan yang adil hanya akan memenuhi maksudnya apabila yang tengah didakwa adalah mereka yang berkedudukan marjinal dan dengan sistem pengadilan inkuisitor bukan dengan sistem peradilan yang akusatur di mana hakim menyerahkan kebenaran materiil perkara sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berperkara.

 

B. Sejarah Peradilan yang Adil ( Fair Trial )

Pada hakikatnya proses peradilan yang adil yang ada dalam hukum acara pidana sebenarnya bertalian dengan asas legalitas di hukum pidana meteriilnya yakni sama-sama hendak melindungi hak-hak warga Negara dengan cara membatasi kekuasaan pemerintah (penguasa) serta mengaturnya dalam Undang-Undang. Awal mula dari munculnya proses peradilan yang adil  (Fair Trialsebenarnya sudah ada pada zaman Rasulullah SAW, yakni dengan dibuatnya Piagam Madinah antara umat islam dengan kaum yahudi. Salah satu poin dari isi dari Piagam Madinah tersebut penghargaan terhadap hak-hak fundamental dari manusia yang notabene berbeda-beda suku, jenis, dan bangsa Dengan perjalanan waktu, proses hukum yang adil ini muncul pada tataran piagam Magna Charta di Inggris pada tahun 1215 dan Rancangan Undang-Undang (Bill Of Right 1628), yang selanjutnya diatur pada Undang-Undang (Habeas Corpus Act 1679).

Ternyata, waktu yang dibutuhkan untuk mengartikulasikan gagasan tentang perlunya jaminan perlindungan hak-hak warga Negara Inggris, dengan cara membatasi kekuasaan raja (termasuk kewenangan hakim) memerlukan sekitar 4,5 (empat setengah) abad, yakni sejak dibuatnya Magna Charta pada tahun 1215, Bill Of Right pada tahun 1628, sampai Habeas Corpus Act pada tahun 1679. Rentan waktu yang sangat lama untuk mengartikulasi dan mengkulminasikan suatu gagasan. Tidak mengherankan, apabila gagasan perlunya jaminan perlindungan hak-hak warga Negara, dengan cara membatasi kekuasaan raja dan kewenangan hakim yang sudah mencapai puncaknya di Inggris menjadi sumber inspirasi bagai para pemikir perancis untuk menumbuh kembangkan gagasan tersebut. Gagasan tersebut kemudian digunakan untuk melakukan kritik dan penolakan terhadap keabsolutan kekuasaan raja dan kewenangan hakim dengan peradilan pidana arbitrium juridisnya. Revolusi perancis tersebut menghasilkan Code Penal yang kemudian hari menjadi sumber kodifikasi hukum dibanyak Negara modern, antara lain Belanda dan Indonesia.

Berdasarkan konstitusi Perancis, perlindungan terhadap seseorang tidak hanya menyangkut hukum pidana dalam pengertian hukum pidana materiil sematatetapi juga dalam pengertian hukum pidana formil. Bahkan perlindungan terhadap kepentingan individu dari proses hukum yang sewenang-wenang mendapat perhatian yang lebih utama dengan ketentuan dalam Pasal 7. Hal ini dapat dipahami karena dalam konteks hukum acara pidana, sedikit-banyaknya terjadi pengekangan terhadap hak asasi manusiaPada tahun 1948, tercetuslah Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Right) yang di deklarasikan pada rapat umum PBB, kemudian diatur juga dalam konvensi Eropa untuk perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental (European Convention For The Protection Of Human Rights And Fundamental Fredoms) pada tahun 1950 yang diberi title No Punishment Without Law, aturan yang hampir sama terdapat dalam Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (United Nations International Covenant on Civil and Politic Rights) pada tahun 1966 yang sering disebut dengan ICCPR.

Dalam konteks Indonesia, perjuangan menegakkan prinsip peradilan yang adil telah lama dimulai. Salah satu yang menjadi cornerstone dan dianggap sebagai karya agung dari bangsa Indonesia adalah UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (atau lebih sering disebut sebagai KUHAP). Selepas pemberlakuan KUHAP, berbagai instrument hak asasi manusia juga diadopsi dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional, diantaranya adalah United Nations Convention Against Corrruption, International Convention Against Torture, dan International Covenant on Civil and Political Rights.

 

C. Konsep Peradilan yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan Pidana

Proses peradilan yang adil (Fair Trial) merupakan intisari atau roh dari sistem peradilan pidana, mengingat bahwa sistem peradilan pidana adalah wadah dari proses peradilan yang adil sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa adanya system peradilan pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Muladi memandang sistem peradilan pidana sebagai suatu jaringan (network) yang mengoprasionalisasikan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Dalam hal ini dapat berupa hukum materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana. Sementara itu, Barda Nawawi Arief mengartikan sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu perhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantive maupun hukum acara pidana. Pada dasarnya, perundang-undangan pidana merupakan penegaklan hukum pidana in abstracto yang diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concreto.

Berdasarkan penjabaran diatas, jelaslah relevansi sistem peradilan pidana dengan proses hukum yang adil. Sebab, sistem peradilan pidana sebagai sistem penegakan hukum dengan sendirinya harus mencerminkan adanya perlindungan terhdap hak-hak tersangka/ terdakwa. Sedangkan hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam sistem peradilan pidana merupakan prasyarat atas terselenggaranya proses peradilan yang adil. Secara teoritik, “due process of law” adalah jalan bagi proses peradilan yang adil dan manusiawi dalam setiap tahap peradilan (procedural design), baik pada tahap pra-ajudikasi (pre-ajudication), tahap ajudikasi (ajudication) dan tahap purna-ajudikasi (postajudication). Ketiga proses peradilan itu harus berjalan dan dijalankan dengan menjunjung tinggi hukum dan kemanusian sekaligus.

D. Teori Keadilan

1. Pengertian Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif.

2. Keadilan Menurut Para Ahli

a. Teori Keadilan Aristoteles

Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan.

Selain itu Aristoteles juga membedakan antara keadilan distributif dengan keadilan korektif. Keadilan distributif menurutnya adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat. Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.

b. Teori Keadilan Roscoe Pound

Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil- kecilnya.

c. Teori Keadilan Hans Kelsen

Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi – keadilan toleransi.

d. Teori Keadilan Thomas Hobbes

Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati.

 

 

BAB III

PENERAPAN DAN FAKTOR PENGAHAMBAT FAIR TRIAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

 

A. Penerapan Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Fair Trial menurut kamus hukum diartikan sebagai persidangan pengadilan yang dilakukan sesuai dengan prosedur. Salah satu unsur penting adalah ketidakberpihakan. Ketidakberpihakan dapat diartikan sebagai peradilan yang berimbang, yang lebih tepat dengan asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law. Fair Trial merupakan perwujudan dari perlindungan terhadap hak asasi manusia yang mendasari berkerjanya sistem peradilan pidana.

John Friedrich Staal sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Jimly Assiddiqie menyebutkan, setidaknya terdapat 4 (empat) unsur dalam negara hukum, yaitu adanya pengakuan hak asasi manusia, adanya pembatasan kekuasaan, adanya pemerintahan yang berdasarkan pada Undang-undang, dan adanya Pengadilan administrasi negara. Dengan demikian dapat dilihat bahwa prinsip dasar dari negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang secara jelas dan tegas di atur secara khusus dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada  Bab XA yang terdiri dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Adapun Fair Trial secara eksplisit diatur dalam Pasal 28D,28G ayat (1) dan (2), 28I ayat (2) dan (4) UUD 1945.

Prinsip Fair Trial sebagaimana yang dijelaskan di atas kemudian diwujudkan dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari berbagai sub sistem yang mana masing-masing sub sistem tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda namun saling berhubungan. Sistem Peradilan Pidana yang diterapkan di Indonesia didasarkan pada berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menggantikan HIR, sehingga sistem peradilan pidana yang diterapkan mulai bergeser kepada model Adversary system.  Adversary system merupakan model yang banyak berkembang di negara-negara common law, yang memiliki karakteristik adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau yang berlandaskan pada due process of law.

Adapun tujuan utama dari adversary system adalah untuk melindungi orang yang tidak bersalah dan menuntut orang yang bersalah dengan proses penyelidikan secara formal dan penemuan fakta secara objektif di ahdapan persidangan. Dengan mulai bergesernya sistem peradilan pidana kepada model adversary system, maka seharusnya para aparat penegak hukum dapat menekan terjadinya unfair trial dalam sistem peradilan pidana, namun yang terjadi justru sebaliknya.

Pada kasus yang telah disebutkan di atas, perlu diuraikan bagaimana sub sistem peradilan pidana yaitu penyelidikan dan penyidikan dapat bekerja sebagaimana di atur dalam KUHAP. Dalam melakukan penyidikan, Penyidik harus memperhatikan hak-hak yang dimilki oleh seseorang, tanpa menggunakan ancaman ataupun kekerasan. Dalam proses peradilan pidana, paradigma yang hendak dikembangkan yakni, warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa, tidak lagi dipandang sebagai obyek tetapi subyek yang mempunyai hak dan kewajiban dapat menuntut ganti rugi atau rehabilitasi apabila petugas salah tangkap, salah tahan, salah tuntut dan salah hukum. Bekerjanya peradilan pidana secara terpadu akan membawa kepada pemahaman secara sistemik.

Didalam pertimbangan Huruf (a) KUHAP atau menyebutkan bahwa: “Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Ketentuan di atas memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara tanpa terkecuali. Dalam proses peradilan pidana dalam menjamin perlindungan hak warga negara tanpa keberpihakan maka prinsip Fair Trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang harus ditegakkanPenerapan prinsip Fair Trial sangat berperan untuk menjaga peradilan tetap independen (jujur dan mandiri) dari “sentuhan” mafia peradilan.

Adapun prinsip prinsip fair trial yang di maksud antara lain:

1. Praduga tidak bersalah (presumption of innocence), terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan didepan sidang pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang telah  memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde);

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang salah satu isinnya berkaitan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah yang diatur pada Pasal 8 yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan fakta selama ini, penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah belum sepenuhnya diterapkan karena banyak kasus tersangka proses penahananditahan melebihi jangka waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan selama ditahan tersangka tidak diperlakukan secara patut dan wajar, sering mendapat kekerasan.

2. Persamaan dimuka hukum (equality before the law), adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang dimuka hukum/hakim dengan perlakukan yang berbeda;

UUD 1945 mengakui prinsip ini hal tersebut tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum.Asas Equality Before The Law adalah bagian dari rule of law atau diterjemahkan sebagai negara hukumNegara hukum akan menempatkan warga negaranya setara atau sama kedudukannya di depan hukum (bandingkan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945)Setiap warga negara tidak boleh ada yang menikmati keistimewaan dalam setiap proses penegakan hukum. Apabila ada terjadi kebalikan maka pengingkaran terhadap prinsip Equality Before The Law melahirkan diskriminasi dalam di depan hukumEquality Before The Law menjadi jaminan untuk mencapai keadilan (hukum).

Berdasarkan pengalaman yang tertangkap selama ini adalah nilai equality before the law tidak diterapkan dengan sungguh-sungguh, nilai tersebut tidak lebih dari sekedar jargon atau lip service. Jika nilai ini diterapkan dengan sungguh-sungguh maka diskresi tidak akan diberikan secara semena-mena. Diskresi selama ini diberikan kepada kalangan tertentu yang umumnya memiliki power baik itu dalam pengertian politik, sosial ataupun ekonomi.

3. Asas Legalitas

Istilah asas legalitas berasal dari bahasa latin yang berbunyi, “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”, yang berarti tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa peraturan terlebih dahulu. Rumusan Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali ini pertama kali dikemukakan oleh sarjana hukum pidana Jerman terkenal Von Feuerbach.

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Seseorang yang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan hukum, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau kelalaiannya, menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar maka akan dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administratif.

4. Hak atas Kemerdekaan dan Keamanan Pribadi serta Larangan Penangkapan dan Penahanan sewenang-wenang.

Pada prinsipnya. Seseorang itu hidup bebas dan memiliki hak untuk dan atas kemerdekaan pribadinya. Pembatasan kemerdekaan seseorang melalui penangkapan dan penahanan dalam proses pidana hanya dan hanya jika terdapat alas dasar yang sesuai dengan hukum, seperti bukti yang cukup dan adanya alas hak berupa kewenangan aparat hukum dan surat perintah dari instansi berwenang. Prinsip dasarnya, penangkapan dan penahanan sama sekali tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan harus dilaksanan oleh aparat berwenang berdasarkan ketentuan dan prosedur hukum yang berlaku.

5. Hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan penahanan.

Setiap orang yang ditangkap atau ditahan berhak untuk diberitahu dalam bahasa yang diketahuinya, tentang alasan-alasan penangkapan, tuntutan apa yang diajukan, dan diberitahukan mengenai hak-haknya dan diberi penjelasan juga bagaimana ia dapat menggunakan hak-haknya tersebut.

6. Hak atas bantuan hukum.

Setiap orang yang menghadapi tuduhan pidana berhak untuk didampingi oleh penasihat hukum atas pilihannya sendiri untuk melindungi hak-haknya dan untuk mendampinginya dalam pembelaan. Jika orang tersebut tidak mampu membayar biaya pengacara, harus ditunjuk penasihat hukum yang berkualitas baginya. Orang tersebut juga harus diberikan waktu yang layak dan fasilitas yang cukup untuk berkomunikasi dengan penasihat hukumnya.

7. Hak untuk diajukan dengan segera ke hadapan hakim dan persidangan dengan waktu yang masuk akal.

Setiap orang berhak untuk segera mendapatkan kepastian hukum atas proses hukum yang dihadapinya. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan adanya penundaan ataupun upaya-upaya yang memperlambat proses pidana yang sedang dijalaninya.

 

Penerapan prinsip Fair Trial dalam penyelenggaraan peradilan merupakan sesuatu yang esensial karena menjadi jaminan agar peradilan berjalan tidak sewenang-wenang. Dalam konteks Indonesia, penerapan prinsip Fair Trial ini masih menjadi persoalan serius untuk dibenahi. Beberapa kasus menunjukkan bahwa peradilan Indonesia masih marak dengan Unfair Trial mulai dari penyiksaan, penahanan tanpa alasan yang jelas, pendampingan penasehat hukum yang tidak substansial, pemeriksaan yang tidak berimbang, hingga pemberian kompensasi yang tidak berlaku secara otomatis.

ICJR secara spesifik mengamati kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dimana pelanggaran terhadap hak atas Fair Trial yang cukup serius juga terjadi. Pelanggaran tersebut antara lain:

1. Pelanggaran hak atas penasehat hukum: Kasus Yusman menggambarkan kualitas pembelaan dari penasehat hukum yang tidak memadai pada tingkat pertama sampai terdakwa dijatuhi hukuman mati, bahkan penasehat hukum ini justru meminta hukuman mati bagi kliennya. Kemudian Kasus Merri Utami  yang diberikan seorang penasehat hukum, namun penasehat hukum ini tidak melakukan langkah-langkah sebagaimana pembelaan yang benar, misalnya ia diketahui tidak pernah secara fakta mendampingi ketika proses interogasi, tidak pernah memberikan nasehat hukum, dan tidak pernah menerangkan proses hukum yang sedang dijalani.

2. Pelanggaran hak atas penerjemah yang kompeten: Kasus Rodrigo yang pada awalnya diberikan penerjemah bahasa Inggris sementara yang digunakan Rodrigo adalah bahasa Portugis, sehingga ia  tidak mengerti substansi isi berkas yang harus ditandatangani.

3. Pelanggaran hak untuk tidak disiksa dan mendapat perlakuan yang manusiawi: Kasus Christian yang berdasarkan keterangannya bahwa pada saat pemeriksaan berlangsung, dirinya diancam akan dihabisi, dipukuli, hingga ditembakkan pistol ke arah pelipisnya. Christian ditangkap di jalanan dan kemudian dibawa ke tempat kejadian perkara agar mau mengakui barang-barang di TKP adalah miliknya. Kemudian kasus Zulfiqar Ali yang mengalami berbagai kekerasan dan penyiksaan oleh oknum anggota kepolisian seperti diikat, dipukul dengan tongkat, ditendang, dan diseret menggunakan mobil dengan tangan terkait dengan maksud mengintimidasi Zulfiqar agar menandatangani sejumlah dokumen.

4. Pelanggaran hak untuk tidak dihukum mati dalam keadaan tertentu: Kasus Dita yang berdasarkan dokumen putusan pada tingkat pertama dan banding dapat diketahui bahwa usianya saat melakukan tindak pidana sebenarnya masih bawah 18 tahun, yakni 17 tahun 8 bulan. Namun anak tersebut tetap dijatuhi hukuman mati karena terdapat indikasi ketidak hati-hatian ketika usia Dita dituliskan 18 tahun dalam putusan.

 

Dalam Catatan Akhir Tahun 2019, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyatakan ada 56 pengaduan dari 222 pencari keadilan mengenai pelanggaran Fair Trial. Salah satunya adalah kasus kekerasan yang dilakukan oknum polisi pada saat penyidikan Selain kekerasan pada saat penyidikan yang dilakukan oknum kepolisian terhadap tersangka dan memaksa tersangka untuk mengakui kesalahan yang tidak ia perbuat. Pelanggaran hak atas Fair Trial juga dialami oleh para terpidana mati. Pelanggaran yang ditemukan berupa 11 kasus terindikasi penyiksaan yang dialami oleh terpidana mati, 16 dugaan pelanggaran pada proses penahanan dan tujuh kasus pelanggaran hak untuk mendapatkan penasihat hukum sebelum persidangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum menerapkan Fair Trial dengan baik.

 

B. Faktor-faktor yang Menghambat Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Hambatan yang sering terjadi dalam sistem peradilan pidana yakni salah satunya adanya penyidik yang belum bertindak secara profesional didalam melakukan penyidikan, sehingga melahirkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Ada beberapa faktor penghambat dalam penerapan fair trial yang terjadi pada proses peradilan diantaranya:

1. Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka terkait dengan kasus-kasus tertentu seperti kasus pemerkosaan dan kasus kesusilaanmasih sulit mendapatkan keterangan dari tersangka. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan tersangka enggan atau merasa malu untuk menceritakan aibnya kepada penyidik dan alasannya juga karena hal itu akan memberatkan atau merugikan bagi dirinya di muka persidangan sehingga penyidik sulit untuk mendapatkan keterangan yang jujur atau sebenar-benarnya dari tersangka

2.  Selain itu juga, Kurang efektifnya pengembangan kualitas sistem pengawasan dan kontrol dari instansi terkait serta kurangnya peningkatan profesionalitas dari para penegak hukum yang harus disertai dedikasi dan rasa pengabdian yang tinggi untuk menegakkan keadilan. Dalam hal ini termasuk pula mental dari para penyidik yang belum sepenuhnya memiliki sifat kemanusiaan tinggi karena masih membedakan yang lemah dan yang kuat dalam masalah ekonomi, jabatan atau pekerjaan;

3. Adanya sistem tebang pilih yang dilakukan aparat cenderung menyebabkan kredibilitas dari aparat penegak hukum menjadi rendah dimata masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat kurang percaya terhadap lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan pengadilan dalam menangani suatu kasus sehingga masyarakaat awam atau masyarakat yang kurang mengetahui hukum cenderung menyelesaikan kasusnya menggunakan hukum adat mereka masing-masing karena mereka menganggap berperkara di pengadilan cenderung bersifat prosedural, berbelit-belit dan hasilnya sering tidak memuaskan para pihak atau putusannya sering tidak sesuai dengan nilai keadilan yang tumbuh pada hati sanubari masyarakat.

4. Dari hasil temuan penulis bahwa faktor utama yang menghambat proses Fair Trial dalam sistem peradilan pidana di indonesia adalah pertamafaktor hukumnya sendiri artinya membuat dan menerapkan hukumnya atau Undang-undang yang baik itu berdasarkan agama, sosial budaya. Kedua, faktor penegaknya, artinya tidak semua penegak hukum bisa menegakkan hukum tetapi yang bisa menegakkan hukum adalah penegak hukum yang mempunyai kesadaran hukum dan tentu sekali ituada kualifikasinya. Ketiga, faktor budaya hukum masyarakat, mencakup nilai nilai yang mendasari hukum yang berlaku, karena budaya itu merupakan pikiran, suatu perilaku dan kebiasaan dalam suatu masyarakat hukum. Keempat adalah pendidikan hukum,karena pendidikan hukum yang akan membentuk dan merevolusi karakter mental seorang penegak hukum menuju harapan masyarakat, dengan demikian bahwa penegakan hukum bukan merupakan proses yang tertutup melainkan proses yang melibatkan lingkungannya.

Selain itu, penerapan prinsip Fair Trial di tingkat penyidikan tentunya terdapat hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang ditemui selama proses penyidikan, baik yang datang dari pihapenyidik sendiri maupun dari pihak tersangka, yang dapat menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya secara baik penerapan prinsip Fair Trial. Adapun hambatan-hambatan tersebut antara lain:

1. Hambatan dari Pihak Penyidik

a. Profesionalisme, pengetahuan, dan pengalaman yang kurang dari oknum penyidik merupakan hambatan yang sering terjadi dalam penerapan asas praduga tak bersalah. Sikap-sikap seperti ini yang sering kali membuat penyidik mengabaikan perlunya penghormatan terhadap hak-hak tersangka selama proses penyidikan, sebagai perwujudan dari asas praduga tidak bersalah, sehingga tindakan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap tersangka lambat laun akan hilang.

b. Perilaku dan tindakan oknum aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik dalam melakukan pemeriksaan bersikap arogan, mereka menganggap sebagai pemegang nasib tersangka, sehingga pemeriksaan yang dilakukan terkadang menggunakan cara cepat yaitu dengan cara kekerasan atau tekanan guna memperoleh pengakuan dari tersangka

2. Hambatan dari Pihak Tersangka

a. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran dari tersangka tentang arti pentingnya bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum sebagai pendampingan terhadap tersangka sejak ia ditangkap, guna mendapatkan pembelaan secara dini.

b. Sikap tidak mau bekerjasama, tersangka tidak mau memberikan keterangan yang dapat menjadikan terang suatu tindak pidana. Tersangka terkadang juga dalam memberikan keterangan berbelit-belit dan sifatnya selalu ingin menghindar dari tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh tersangka.

c. Keadaan psikologi tersangka yang tertekan karena kesan menakutkan yang dimiliki Polisi sebagai penyidik. Tersangka seringkali merasa takut pada saat akan dilakukan pemeriksaan, terlebih-lebih mereka yang baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kurang pahamnya tersangka akan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka selama dalam pemeriksaan ditingkat penyidikan, maka keadaan ini digunakan oleh penyidik untuk mempercepat proses penyidik.

 

BAB IV

PENUTUP

 

A. Simpulan

1. Penerapan Fair Trial dalam sistem peradilan pidana harus mencerminkan prinsip-prinsip Fair Trial. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah: Praduga tidak bersalah (presumption of innocence), Persamaan dimuka hukum (equality before the law), Asas Legalitas, Hak atas Kemerdekaan dan Keamanan Pribadi serta Larangan Penangkapan dan Penahanan sewenang-wenang, hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan penahanan, Hak atas bantuan hukum dan Hak untuk diajukan dengan segera ke hadapan hakim dan persidangan dengan waktu yang masuk akal. Di Indonesia, prinsip-prinsip Fair Trial belum sepenuhnya diterapkan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa peradilan Indonesia masih marak dengan Unfair Trial mulai dari penyiksaan, penahanan tanpa alasan yang jelas, pendampingan penasehat hukum yang tidak substansial, pemeriksaan yang tidak berimbang, hingga pemberian kompensasi yang tidak berlaku secara otomatis. 

2. Faktor-faktor yang menghambat Fair Trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia antara lain:

a. Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka masih sulit mendapatkan keterangan yang jujur, apalagi terkait dengan kasus-kasus tertentu seperti kasus pemerkosaan dan kasus kesusilaanHal ini disebabkan oleh kecenderungan tersangka enggan atau merasa malu untuk menceritakan aibnya kepada penyidik dan alasannya karena hal itu akan memberatkan atau merugikan bagi dirinya di muka persidangan sehingga penyidik sulit untuk mendapatkan keterangan yang jujur atau sebenar-benarnya dari tersangka;

b. Kurang efektifnya pengembangan kualitas sistem pengawasan dan kontrol dari instansi terkait serta kurangnya peningkatan profesionalitas dari para penegak hukum yang harus disertai dedikasi dan rasa pengabdian yang tinggi untuk menegakkan keadilan.

c. Adanya sistem tebang pilih yang dilakukan aparat.

d.  Faktor utama yang menghambat proses fair trial dalam sistem peradilan pidana di indonesia adalah pertama faktor hukumnya sendiriKedua, faktor penegaknyaKetiga, faktor budaya hukum masyarakat, mencakup nilai nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Dan yang keempat adalah pendidikan hukum.

Selain itu, penerapan prinsip Fair Trial di tingkat penyidikan tentunya terdapat hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang ditemui selama proses penyidikan, baik yang datang dari pihapenyidik sendiri maupun dari pihak tersangka, yang dapat menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya secara baik penerapan prinsip Fair Trial

B. Saran

1. Dalam menerapkan prinsip Fair Trial di Indonesia, diperlukan pembenahan khusus terhadap Sistem Peradilan di Indonesia. Dengan banyaknya kasus pelanggaran terhadap prinsip Fair Trial, Pemerintah harus cepat bertindak agar kasus-kasus pelanggaran terhadap prinsip Fair Trial tidak terus bertambah. Pembenahan terhadap seluruh sistem peradilan di Indonesia yang mencakup struktur, substansi dan cultur hukumnya. Faktor yang sangat penting dalam pembenahan itu adalah sumber daya manusia sebagai salah satu faktor yang sangat esensial untuk melakukan perubahan secara total. Jadi yang paling ideal yang diharapkan Indonesia saat ini adalah sistemnya baik dan orang yang mengemban system itu juga orang baik, tetapi yang paling sentral dari system itu adalah penegak hukumnya.

2. Perlunya pembenahan terhadap Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Aparat Hukum yang melanggar prinsip Fair Trial harus cepat diproses. Aparat yang melakukan kekerasan terhadap tersangka dapat diproses pidana atau pencabutan jabatan. Penegak hukum harus punya kesadaran hukum karena kesadaran hukum akan menghasilkan ketaatan/kepatuhan terhadap hukum.

TEORI HUKUM FEMINIS

Latar belakang lahirnya pemikiran hukum feminis ini, adalah: 1. sebagai akibat dari adanya gerakan perempuan tiga dekade yang lalu yang cuku...